Sabtu, 21 November 2009

Kesemrawutan Transportasi di Kota Yogyakarta: Berilah Petunjuk ke Jalan yang Benar

Oleh: Bambang Hudayana[1]

I

Keindahan kota Yogyakarta bukan sesuatu yang spektakuler di hati para penduduk, mahasiswa dan wisatawannya. Yogyakarta mirip dengan kota-kota menengah lainnya di seantero Nusantara. Akan tetapi, Yogkakarta bisa berkata bahwa dirinya berbeda dengan yang lain karena pernah tampil sesuai dengan slogannya “berhati nyaman”. Slogan ini memiliki rujukan yang kaya bukti. Kita bisa mendengarkan kesan dari para alumni perguruan tinggi di kota pelajar ini. Mereka selalu merindukan Yogyakarta yang identik dengan nuansa kehangatan sosial, kedamaian, dan keramaian yang merakyat dan kemudahan menyusuri sudut-sudut kampung sampai jantung kota.

Kini kerinduan mereka tidak pernah terobati manakala berkunjung kembali. Kampus, kampung, pusat pertokoan, warung makan, keraton sepertinya bukan lagi sebagai ruang publik yang enak dikunjungi. Jalan menuju tempat-tempat tersebut penuh dengan lalu-lalang manusia berkendaraan bermotor dan semrawut lagi. Semua orang sepertinya merasakan sebuah keletihan dan kebosanan di jalan, dan mereka berburu waktu dan berebut jalan untuk bisa cepat mencapai tujuan. Suasana itu telah diperkeruh dengan deru mesin yang mengusamkan udara, mata, kulit dan nafas semua orang yang berada di jalan, trotoar, restoran, warung, kios, dan di kampung yang padat penduduknya.

Dalam setiap harinya sepeda motor yang turun ke jalan tidak kurang dari 60 ribu buah. Angka itu baru jumlah sepeda motor yang STNKnya kotamadya Yogyakarta. Belum termasuk sepeda motor dari pendatang yang kuliah dan belajar di kota ini yang jumlahnya dipastikan lebih dari angka itu. Tidak ketinggalan masih ditambah dengan mobil yang semakin meroket jumlahnya dan berlalulalang berebut jalan dengan motor, becak dan berbagai angkutan umum.

Banyaknya motor dan mobil pribadi itu menandakan kemajuan jaman, dan kesejahteraan ekonomi, tetapi sekaligus mengisyaratkan memudarnya Yogyakarta sebagai kota yang “berhati nyaman”. Berkunjung ke pusat kota, keraton, pertokoan, kampus dan warung harus dibayar mahal, bukan karena sekedar BBM harganya meroket, melainkan karena kepadatan transportasi itu telah menimbulkan kesemrawutan, kemacetan dan keterlambatan mencapai tujuan. Mereka juga telah menimbulkan tindak kriminalitas pencurian motor yang tinggi, pencemaran udara, kecelakaan lalulintas, stress yang lambat laun menumpuk yang mengancam keselamatan, kesehatan dan ketentraman. Kini warga sepertinya tidak jenak dan bisa menikmati suasana di pusat keramaian itu karena susah parkir dan untuk bisa memperoleh tempat yang paling nyaman pun seperti mall dan pusat hiburan harus dibayar dengan mahal.

II

Wajah kota Yogyakarta memang kusam karena telah lebih dari 15 tahun terakhir ini masalah transprotasi tidak dibenahi secara serius. Ketika motor mulai menggeser sepeda ontel dan becak, dan ketika mobil pribadi mulai meningkat, maka sebaiknya bis kota sebagai angkutan umum pun dikembangkan untuk pelayanan publik.

Bis kota bisa menjadi kebanggan warga ketika angkutan ini justru mempunyai keunggulan yang luar biasa. Pertama: angkutan ini didesain untuk melawan laju penggunaan angkutan pribadi baik motor maupun mobil dengan cara mengaturnya agar jumlah armada dan pelayanannya baik seperti berjalan menuju halte tepat waktu dan murah. Kata murah bukan hanya harga tiketnya saja tetapi dengan berpindah rute, seorang penumpang tidak perlu membayar lagi karena ia identik dengan berpergian sehari. Kedua: angkutan ini merupakan pelayanan kota kepada warga sehingga Pemda kota memsubsidi sebagian dari pembiayaannya. Ketiga: angkutan ini tidak identik dengan pelayanan untuk orang miskin tetapi semua warga agar mereka bisa menghemat anggaran rumah tangganya dan konsumsi BBM yang langka. Keempat, angkutan ini memperoleh fasilitas dan hak yang lebih besar di dalam menggunakan jalan umum daripada angkutan pribadi sehingga dikenal dengan nama bus priority. Kelima, sebagai bus priority, angkutan ini menggantikan semua angkutan umum bermotor lainnya di kota sehingga seluruh pelayanan publik dalam satu sistem dan atap yang didukung Pemda. Keenam: angkutan ini menghubungkan komunitas dengan pusat keramaian kota, dan kota dengan desa-desa di sekelilingnya. Keenam: angkutan ini milik warga sehingga membuka akses bagi mereka untuk menamkan modalnya dalam bentuk koperasi atau lainnya.

Gagasan bis kota seperti itu bukan sesuatu yang baru. Di negara-negara eropa yang merupakan welfare state bis kota merupakan bagian dari pelayanan publik yang memaksa negara harus mensubsidinya dan memberikan prioritas bagi angkutan umum ini untuk menguasi jalan raya. Warga kota ikut berpartispasi dalam mengembangkan bus priority ini dengan memiliki saham atau dana penyerta sekaligus mengawasinya. Dengan adanya bus priority ini maka warga tidak harus memiliki mobil untuk bekerja dan berwisata di kota. Angkutan ini bisa lebih lancar, tepat waktu, murah dan aman. Tidak ketinggalan, para penumpangnya tidak harus berdesakan karena jumlah bis memadai. Mereka tidak akan menghadapi supir yang mengejar setoran sehingga kebut-kebutan berebut penumpang. Bis itu tidak akan diturunkan kualitas dan pelayanan seenaknya karena pemerintah daerah mengatur sesuai dengan amanat warga.

Pengalaman naik bis kota di Brighton Inggris sungguh menegaskan bahwa bus priority itu jauh lebih penting daripada angkutan pribadi. Penumpang bis kota ibarat raja yang duduk dengan tenang dan bisa bertegur sapa, sendagurau dengan rekannya. Menarik lagi adalah ketika alat untuk mengeluarkan karcis rusak, atau supir tidak memiliki uang receh untuk membayar sisa pembayaran karcis, maka si penumpang tidak dipungut bayar. Semua aturan memasitikan bahwa warga tidak kesilitan membayar baik dari segi harga mauun teknisnya. Bus priority seperti itu telah ikut menyuburkan tradisi kesantunan antar warga. Mereka telah dilayani dengan baik, dan sebaliknya mereka pun harus berbuat sama baik kepada supir, penumpang, dan mereka yang berada di tempat public dan keramian.

Susana menikmati bis kota di Inggris itu mungkin pernah sedikit terjadi di Yogyakarta ketika angkutan umum seperti colt kampus dan bis kota masih merajai dan menjadi angkutan terbaik pada masa kelahirannya. Namun karena dalam perkembangannya angkutan umum itu tergilas oleh angkutan pribadi, dan tidak ada reformasi, maka angkutan umum itu menjadi cerita masa lalu. Kini warga Yogya mengeluh atas kesemrawutan sistem transportasi di kotanya. Pengalaman saya bergabung dengan Pustral UGM pada program bus priority untuk Yogyakarta menemukan kegelisahan warga, tetapi mereka belum memiliki sebuah formula dan keberanian untuk melakukan agenda reformasi. Warga tidak menemukan jalan keluar, karena setiap gagasan akan bersiko besar jika diimplementasikan. Apabila mengembangkan bus priority yang mendekati gagasan bis kota di eropa itu maka akan menelan korban, dan bahkan tidak terkecuali mereka sendiri. Bila jalan diprioritaskan untuk bis kota, maka mereka akan kehilangan kesempatan kerja di usaha parkiran, perbengkelan, dan bahkan usaha angkutan umum. Jelas bahwa munculnya bis kota seperti itu akan berpihak kepada kepentingan publik daripada sektoral sehingga mereka akan keberatan bila reformasi bis kota diwujudkan.

Sistem transportasi kota Yogyakarta dan di berbagai kota di Indonesia memang tidak berorientasi kepada kepentingan publik. Akibatnya pun sudah dirasakan terutama oleh warga dari kelas menengah ke bawah. Seorang tidak bisa bekerja tepat waktu menjadi buruh harian di kota ketika ia tidak memiliki sepeda motor. Ironisnya investasi ke sepeda motor menelan biaya yang mahal, sedangkan penghasilannya relatif rendah. Seorang pelajar tidak nyaman dan aman lagi naik sepeda, dan pilihan jatuh ke sepeda motor karena angkutan ini ngetrend dan untuk naik bis kota mereka bisa harus membayar mahal serta tidak pasti sampainya. Dengan adanya semacam bus priorority di Yogyakarta, maka mereka tidak perlu bekerja ekstra untuk melakukan investasi di bidang angkutan pribadi karena muncul pelayanan publik melalui angkutan umum yang menjamin ketepatan waktu perjalanan dan harga yang relatif murah.

Apabila muncul reformasi angkutan umum di Yogyakarta dengan mengembangkan bus priority itu, maka masa depan Yogyakarta bisa pulih sebagai kota pelajar, wisata dan kebanggaan warganya. Pertama: jalan tidak lagi berjubel dan semrawut, dan perjalanan juga efisien. Kedua: warga tidak lagi berlomba-lomba melakukan investasi di bidang angkutan pribadi, dan beralih di bidang yang strategis misalnya pendidikan. Ketiga: aura kota Yogyakarta yang ramah dan nyaman bisa bangkit kembali dan membuat orang bisa menikamati kota dengan segala fasilitasnya. Keempat: tidak ketinggalan kebiasaan jalan kaki dan dolan di dalam kota dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa perlu menciptakan kawasan bebas kendaraan bermotor seperti yang akan diberlakukan di Malioboro. Keramaian kota akan muncul dengan suasana yang lebih nyaman, dan situasi ini akan mendorong berkembangnya berbagai festival kesenian, budaya, olah raga disrtai pula dengan merebaknya aktivitas ekonomi untuk melayani pengunjung yang leluasa berjalan kali dan bersantai ria.

III

Reformasi angkutan umum di Yogyakarta akan menambah deretan nama baik yang disandang sebagai kota perjuangan, pelajar dan pusat budaya Jawa yang multikulturalis. Reformasi ini akan berhasil jika mendapat dukungan dari berbagai pihak. Jika sementara ini sektor swasta di bidang transportasi menikmati atas kesremawutan sehingga engan mmberikan dukungan reformasi angkutan umum, maka hal itu merupakan sebuah gejala yang wajar. Akan tetapi, jika skema reformasi dengan mengedepankan bus priority itu melibatkan mereka maka tidak waja jika menolaknya. Sementara itu, pihak yang harus proaktif untuk mengagendakan pembaharuan angkutan publik tidak lain adalah justru masyarakat sipil, perguruan tinggi, partai politik dan pemerintah dan Keraton. Melalui dukungan organisasi masyarakat sipil (CSO) dan LSM, masyarakat sipil sudah sepatutnya melakukan agenda-agenda perubahan menuju angkutan umum yang berpihak untuk kepentingan mereka. Masyarakat sipil di Yogyakarta sebenarnya mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap pembangunan jalan. Di Yogyakarta, warga memiliki tradisi gotongroyong yang kuat di dalam membangun jalan di lingkungannya. Tradisi ini dapat ditranformasikan menjadi sebuah agenda untuk membangun sistem tranprotasi yang menjawab kebutuhan mereka lebih baik. Selama ini pemaknaan gotongroyong berhenti pada suatu kewajiban sosial dan mengabaikan hak sosial atas jalan yang sudah mereka bangun. Hak sosial itu mestinya bisa bermuara pada terpenuhinya kebutuhan jalan sebagai milik bersama, bukan hanya bagi mereka yang kuat secara ekonomi untuk menguasainya.

Di samping CSO dan LSM, perguruan tinggi juga tidak bisa tinggal diam. Kebobrokan sistem transportasi bukan hanya mengancam industri pariwisata tetapi juga sektor pendidikan. Kini kerja Pustral UGM selangkah lebih maju dengan menyajikan gagasan reformasi angkutan umum di Yogyakarta. Namun lembaga ini juga tidak bisa berhenti hanya menyajikan konsep yang implementatif. Era demokrasi harus ditangkap lebih mendalam bahwa masyarakat sipil itulah yang bisa diandalkan untuk melakukan perubahan.

Perjuangan mewujudkan reformasi itu memang terletak pada keputusan politik dan para politisi dan eksekutif sudah sepatutnya berani membuat keputusan politik dan kebijakan serta program yang responsis di bidang transportasi. Ketidakberanian melakukan perubahan akan memperkeruh masalah di kemudian hari, dan semakin sulit menemukan solusinya.

Mengagedakan munculnya bus priority seperti di Eropa bukan sebuah bentuk pengingkaran terhadap jati diri. Pengingkaran ini menjadi tidak masuk akal jika menyadari bahwa Yogyakarta muncul karena melawan arus. Ia memperoleh status sebagai Daerah Istimewa karena keberanian tokoh masyarakatnya dalam hal ini Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga melawan arus yang menyerahkan tahta untuk rakyat dalam arti ia secara konsisten mendorong tumbuhnya kekuatan masyarakat untuk bisa mandiri menyelesaikan masalah yang dihadapi dan pihak Keraton menampilkan keteladanan bersama rakyatnya. Oleh karena itu, barangkali warga Yogyakarta akan berbesar hati jika Keraton ke depan di dalam membangun keistimewan bukan berhenti pada otentiksitasnya sebagai pemangku bumi Mataram, tetapi berlanjut pada upaya mewujudkan pengabdiannya kepada rakyatnya dengan mendorong meningkatnya pelayanan publik, tidak terkecuali di bidang angkutan umum.



[1] Penulis di samping sebagai peneliti pada IRE-Yogyakarta dan dosen UGM juga sedang bergabung dengan Putral UGM untuk studi aksi tentang bus priority di Yogakarta. Pernah diternitykan dalam Bulletin Flamma IRE-Ygyakarta


5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Ide tentang perlu diluncurkannya Bus Priority, merupakan gagasan cemerlang untuk mengatasi salah satu persoalan pelayanan publik angkutan umum di Yogyakarta, yang semakin akut dan harus segera diambil langkah jitu sebagai jalan keluarnya.

    Selain polusi gas buang kendaraan yang berbahaya dan ketidakyamanan pengendara yang meningkatkan level stress, yang bisa memperparah frekwensi dan tingkat keseriusan kecelakaan, angka kematian yang tinggi di jalan raya juga sepatutnya menjadi faktor pendorong segera diimplementasikan sistem transportasi publik yang 'decent'.

    Data menunjukkan, korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia termasuk yang tertinggi didunia, disusul Thailand, India, dst. Dan khusus di Indonesia, 70% korban kecelakaan adalah mereka yang menggunakan kendaraan bermotor. ADB mencatat tahun 2007 terdapat 30 ribu meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, dengan kerugian tidak kurang dari Rp 41 trilyun.

    Kemudian, menurut Wakil Direktur Lalu Lintas Polda DIY, Drs. Suharsono MH MHum, periode januari hingga Oktober 2009 saja, di DIY telah terjadi kecelakaan 3.577 kasus, dengan 160 orang meninggal (Kedaulatan Rakyat, 8/11/2009).

    Dengan catatan angka yang begitu besar, jalan raya telah menjadi tempat yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari medan perang di Timur Tengah sekalipun. Thus, project Bus Priority merupakan alternatif solusi yang tidak selayaknya ditunda lagi implementasinya. Dalam hal ini, benar yang dikatakan oleh Pak Hud, Sri Sultan HB IX lah yang paling bisa untuk segera mendesakkan project yang humanis tersebut.

    BalasHapus
  3. Thanks wah anda cerdas,karena itu berbagai pihak perlu bekerjasama melakukan reformasi transportasi. Saya kira anda juga kompeten untuk ambil bagian. Hal ini karena selama ini sedikit sekali perhatian sekolah Taman kanak-kanak untuk mempperkenalkan konsep safety kepada para muridnya. Poltas sudah mengambil bagian tetapi masih seremonial sifatnya. Perlu ada kurikulum untuk anak TK bagaimana memperkenalkan dunia transportasi yang manusiawi. thanks.

    BalasHapus
  4. Vеry nice post. I cеrtainly lοve thiѕ website.
    Κeeр it up!

    My blog :: where to buy hydroxycut
    my website: Lipodrene With Ephedra Reviews

    BalasHapus
  5. Having гeаd thіѕ I beliеvеd it
    was really enlightening. I аpprесіate you taκing thе time
    and effoгt to put thiѕ content togetheг.
    I once again find mуself spenԁing a ѕignifiсant amount of time both reading and leaving cοmments.

    But so what, it waѕ still worthwhile!

    Hеre is mу homеpagе ephedrine hcl
    My web site > Lipodrene reviews

    BalasHapus