Sabtu, 21 November 2009

Agenda Masyarakat Adat Keluar dari Ketidakberdayaan: Menyongsong UU tentang Desa

Oleh: Bambang Hudayana

Pendahuluan

Reformasi telah membawa berkah terhadap masyarakat adat (Baca MA) di Indonesia yang pada masa Orde Baru mengalami marginalisasi di segala bidang kehidupan. Dengan dukungan dari LSM, dan donor, organisasi-organisasi dan para aktivis MA dapat membangun solidaritas kolektif sehingga menghasilkan sebuah kekuatan yang strategis untuk menghidupkan kembali hak-haknya di dalam mengelola komunitasnya. Munculnya AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dan berlangsungnya kongres AMAN (tahun 1999 dan 2003 dan 2007) menjadi bukti bahwa mereka dapat menjalin solidaritas kolektif lintas budaya guna mewujudkan cita-citanya tersebut. Di tingkat lokal, disaksikan pula munculnya semangat yang kuat di kalangan organisasi adat untuk merespon secara secara positif terhadap perombakan Desa dan nama lainnya menurut UU No. 22 tahun 1999 yang membuka kesempatan kepada mereka untuk menghidupkan kembali pemerintahannya. Trend yang menonjol dari gerakan MA pada masa reformasi ini memang mengarah pada upaya mewujudkan suatu pemerintahan lokal yang berbasis pada adat. Model yang ideal adalah seperti di Sumatra Barat, yakni lahirnya kembali nagari.

Gerakan MA menuju kembalinya pemerintahan adat itu menurut hemat saya dilandasi oleh sejumlah alasan yang bersifat historis-romantis, budaya politik identitas, dan tuntutan keadilan sosial. Pertama, dari segi historis sebelum rezim Orde Baru berkuasa, khususnya sebelum berlakunya UU No. 5/1979, pemerintahan adat membuktikan diri mampu menjalankan fungsi yang positif bagi terbangunnya komunitas yang mandiri dan berbudaya serta memiliki sumberdaya ekonomi bagi kesejahteraan bersama di wilayahnya. Dengan kekayaan alam yang memadai pemerintahan adat menfasilitasi redistribusi sumberdaya ekonomi melalui redistribusi tanah ulayatnya. Pada masa silam, pemerintah Jajahan Belanda juga mengakui eksistensi MA sebagai masyarakat hukum yang memiliki kapasitas untuk mengelola urusannya sendiri (self governing community). Sebagian dari pemerintahan adat itu pada jaman Belanda ditransformasikan sebagai pemerintahan di aras lokal yang otonom (local sefl-government) seperti nagari atau desa di Jawa. Kedua, pemerintahan adat dipandang lebih sesuai dengan konstruksi simbolik dan empirik tentang pengelolaan kekuasaan di aras lokal. Jika tata pemerintahan desa merepresentasikan tentang sistem sosial-budaya desa di Jawa, maka sebaliknya tata organisasi adat, misalnya gampong mencerminkan tentang sistem sosial-budaya Aceh. Ketiga, elit adat dipandang akan dekat dengan konstituennya karena mereka memiliki ikatan komunitas sehingga melahirkan kepercayaan antar kedua belah pihak. Keempat, kembali kepada pemerintahan adat merupakan suatu reaksi atas hancurnya modal sosial-budaya, dan politik MA atas praktik negaranisasi dan kapitalisasi ekonomi ke dalam wilayahnya. Kembali ke adat merupakan sebuah politik identitas agar diakui eksistensinya sebagai suatu masyarakat hukum yang memiliki hak untuk mengatur dirinya secara otonom dan menuntut keadilan atas proses marginalisasi yang terjadi di komunitasnya.

Meskipun kebanyakan gerakan MA di banyak kabupaten pada tahun 1999-2007 dicurahkan energinya untuk menghidupkan keembali pemerintahan adat di aras lokal, hanya sedikit yang telah berhasil meraihnya. Perda di berbagai daerah justru mengamanatkan terbentuknya pemerintahan desa konvensional .

Kegagalan sebagian besar MA untuk menghidupkan kembali pemerintahan adatnya nampaknya akan berlanjut pada masa mendatang ketika muncul UU khusus tentang desa pengganti UU 32/2004. UU desa akan dilahirkan untuk merespon desakan dari para kepala desa, khususnya di Jawa yang menuntut perhatian yang lebih besar dari negara terhadap desa. Mereka secara masif melakukan demonstrasi ke pemda dan bahkan secara berbondong-bondong ke ke Jakarta di bawah kubu Parade Nusantara. maupun APDESI.

Bila nanti UU baru itu disusun, maka MA yang telah gagal meraih kembalinya pemeritahan asli, pasti menuntut landasan hukum yang kuat tentang keberadaannya dalam sistem pemerintahan desa tersebut. Namun demikian, ada kemungkinan masalah akan muncul lagi apabila tidak diantisipasi. Pertama, masalah itu berkaitan dengan dukungan konstitusi, dan kedua berkaitan dengan ketidakberdayaan pada diri organisasi MA, itu sendiri sehingga kalaupun kemudian muncul UU yang lebih baik daripada UU 32/2004, MA masih berjalan di tempat. Paper ini mengajak mendiskusikan tentang masalah tersebut dan langkah mengantisipasinya.

Masalah Dukungan Konstitusi

UU tentang desa yang sedang dirumuskan rancangannya oleh Depdagri dapat dipastikan akan berpijak pada Amandemen UUD 1945 tetapi diharapkan akan lebih baik daripada UU 32/2004 yang memandulkan otonomi dan demokrasi pemerintahan desa. Akan tetapi amandemen itu sebenarnya secara nyata melemahkan kedudukan desa dan kesatuan masyarakat adat dalam sistem pemerintahan di Indonesia.

Pada pasal 18 ayat 1 tentang pemerintahan daerah disebutkan
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah¬-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang¬-undang.

Pada pasal 18B ayat 1 disebutkan:
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang¬undang.

Adapun pada pasal 18B Ayat 2 disebutkan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang- undang".

Pasal 18B ayat 1 di atas tidak mengakomodasi keberadaan desa atau pun desa adat secara tegas. Baru dalam panduan pemasyarakatan UUD 1945 hasil amandemen disebutan lebih tegas, yaitu “satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa itu dapat berupa provinsi, kabupaten, dan kota maupun desa. Masalahnya adalah sungguhkah negara akan mengakui desa atau pun desa adat sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus. Keterangan tentang pemerintahan yang bersifat khusus itu meliputi desa hanya ada pada panduan, bukan dalam konstitusi.

Dari kajian akademis, perdebatan tentang keberadaan desa sebagai suatu pemerintahan yang bersifat khusus, artinya pemerintahan asli pun sudah berjalan lama. Kalangan ahli hukum adat seperti kubu Prof. Soepomo cenderung memandang desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang sudah ada sebelum berkuasanya pemerintahan kolonial dan nasional. Pandangan Prof Soepomo itu berlaku pula untuk desa adat di banyak daerah di luar Jawa. Namun demikian, sebagian kecil i kalangan sejarawan Belanda dapat membuktikan bahwa negara telah membentuk desa yang wilayahnya dari beberapa dusun yang berdekatan. Desa dibentuk dalam kerangka memperluas intervensi negara ke dalam rumah tangga desa meskipun penyelenggaraan pemerintahan desa bersifat otonom. Semenatara itu, kalangan aktivis dan para praktisi pemerintahan desa cenderung mengikuti konsepsi kubu Prof Soepomo, tetapi perjuangan mereka belum membuahkan hasil yang maksimal. Lewat forum FPPM pernah dihasilkan naskah sanding yang dikenal dengan nama “buku putih” untuk bahan revisi UU 22/1999, tetapi buku sanding itu tidak direspon oleh pemerintah maupu dewan. Apa yang muncul justru UU 32/2004 yang mengingkari semangat demokrasi dan otonomi desa.

Posisi masyarakat adat dalam konstusi amandemen juga kurang kuat. Hal ini karena dalam pasal 18B ayat 2 menegaskan bahwa negara mengakui dengan persyaratan yang berat dan membingungkan. Pertama, hanya organisasi MA yang masih hidup saja yang diakuinya. Pengertian ini bisa memperkuat sikap sepihak kebanyakan pemerintah kabupaten di luar Jawa untuk memilih pemerintahan model desa biasa daripada desa adat.

Dengan adanya kriteria itu, pemerintah pun akan mereproduksi narasi yang dapat meminimalisasi jumlah satuan masyarakat adat yang diakuinya sehingga akan kecil pula daerah yang pemerintahan desanya berbasis pada adat. Dalam panduan pemasyarakatan konstitusi amandemen pun ditegaskan “bahwa kelompok masyarakat hukum adat itu benar-benar ada dan hidup, bukan dipaksa-paksakan ada, bukan dihidup-hidupkan. Kalimat itu dari menolak terhadap upaya gerakan MA atau LSM untuk menghidupkan kembali organisasi MA yang hancur atau mati suri. Padahal dalam sejarahnya banyak organisasi MA hancur dan tidak berfungsi karena dilibas oleh ekspansi negara ke dalam komunitas adat. UU 5/1979, misalnya menjadi salah satu alat bagi negara untuk menghancurkan organisasi adat sehingga tidak adil jika upaya menghidupkan kembali sebagai sebuah tindakan yang direspon positif dalam era reformasi.

Untuk mengantisipasi wacana dominan dan tindakan sepihak dari negara tentang pengertian “sepanjang masih hidup”, maka selayaknya dimunculkan wacana tandingan. Wacana ini hendaknya dimuncul badan yang dibentuk oleh para organisasi MA, misalnya oleh AMAN yang mengabsahkan bahwa setiap komunitas adat pada dasarnya masih hidup dengan bentuk yang beragam, dan bukti yang kuat. Menurut hemat saya, setiap kesatuan masyarakat adat pada masa kini tetap hidup sepanjang mereka itu masih memiliki orangnya, wilayah dan organisasi sekalipun itu bersifat informal karena keberadaan mereka memang tidak harus bersifat formal dengan struktur organsasi yang kompleks.

Persyaratan kedua sangat membingungkan karena menetapkan bahwa MA yang diakui adalah yang sesuai dengan perkembangan jaman. Persyaratan ini bisa diterjemahkan seenaknya oleh penguasa. Apabila artinya merujuk pada tuntutan diberlakukannya prinsip demokrasi dan partisipasi maka itu tidak bermasalah, dan bahkan memperkuat akuntabilitas dan transparasi dari pemerintahan adat. Oleh karena itu pengertian “sesuai dengan perkembangan jalam”, perlu dipertanyakan dan dimaknai sendiri oleh masyarakat adat.

Peryaratan kedua juga bisa seenaknya diterjemahkan bahwa organisasi MA yang diakui adalah yang telah maju seperti desa pakaraman di Bali atau nagari sehingga mengesampingkan bahwa organisasi masyarakat yang masih tradisional serta yang sedang mencari-cari format kelembagaannya di tengah situasi di mana penyelenggaraan pemerintahan NKRI juga sedang bergerak mengikuti arus reformasi. Dalam kenyataannya organisasi adat itu dinamis, sehingga tidak ada alasan mengesampingkan suatu satuan masyarakat adat yang masih sederhana karena mereka akan mengemmbangkan diri sesuai dengan tuntutan jaman. Tidak semua organisasi MA memiliki struktur yang kompleks seperti nagari. Namun perlu dicatat bahwa langkah meningkatkan struktur yang kompleks itu sebenarnya sesuai dengan kebutuhan selalu muncul di banyak organisasi MA. Di Aceh misalnya ada konsep gampong dan ketika berkembang struktur social masyarakatnya muncul kemudian konsep mukim. Demikian pula di Landak Kalimantan Barat muncul konsep kampong, tetapi kemudian muncul konsep binua sebagai satuan masyarakat adat yang lebih luas wilayah, dan satuan-satuan komunitasnya.

Persyaratan ketiga merupakan sebuah tindakan kontrol dan fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menegakkan prinsip negara kesatuan. Apa, yang dikawatirkan adalah kalau kontrol itu kemudian berseberangan dengan hak-asal usul seperti dimilikinya hak ulayat, maka sama saja dengan melepaskan kepala tetapi memegang ekornya.

Paparan di atas mengajak kepada komunitas adat untuk mengambil posisi dan andil yang kuat dalam pembentukan UU tentang desa ke depan. Bila ikut mengambil bagian maka strategi yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan tafsir ayat-ayat dalam pasal 18 sedemikian rupa sehingga nantinya kedudukan pemerintahan adat sangat kuat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Negara tidak selayaknya hanya mengakui MA yang masih hidup dan sudah berkembang organisasi kepemerintahannya, tetapi mengakui hak bagi setiap masyarakat untuk menghidupkan organisasi adatnya, dan menfasilitasi bagi MA-MA yang mengalami proses marginalisasi untuk bisa bangkit menghidupkan pemerintahan yang sejalan dengan visi-misi MA dalam masa reformasi yang mengedepankan pengembangan kesejahteraan bersama, keadilan dan kekuatan masyarakat sipil di aras lokal. Oleh karena itu, pedoman sosialisasi amandemen konstitusi yang telah dipakai sebagai pegangan oleh negara selayaknya direvisi.

Selain mengantisipasi masalah dukungan konstitusi yang relatif rapuh, MA juga harus memastikan bahwa pemerintahan adat yang diperjuangkan itu bukan bentukan pemerintah tetapi bentukan mereka sendiri. Pandangan itu berpijak dari rangkaian diskusi dalam forum FPPD dalam menyongsong lahirnya UU tentang desa, Para tim perumus seperti Sutoro Eko menegaskan bahwa Desa atau nama lainnya pada dasarnya merupakan kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul serta asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dengan berpijak pada gagasan itu, maka keberadaan desa sebenarnya diandaikan sudah ada secara turun temurun dan bahkan jauh sebelum negara lahir. Dengan demikian maka dalam UU nanti pembentukan, pemecahan dan pembubaran desa sepenuhnya menjadi hak masyarakatnya. Ini berbeda dengan pasal 200 dalam UU 32/2004 yang menyatakan bahwa dalam pemerintahan daerah kabupaten /kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan perwakilan desa Organisasi MA di daerah bisa memilih format pemerintahan adatnya sesuai dengan kapasitas dan perkembangan masyarakatnya.

Meskipun menjadi kewenangan dari masyarakat adat, tetapi konsekuensinya mereka harus mampu merumuskan tentang format pemerintahannya dan sekaligus memperjuangkannya. Regulasi dalam bentuk konstitusi maupun UU bukan jaminan bagi mereka untuk bisa mengembalikan pemerintahan adatnya. Hal ini karena salah satu faktor yang ikut menentukan adalah pada kemampuan mereka keluar dari ketidakberdayaan. Oleh karena itu masalah ketidakberdayaan MA selama juga harus disoroti dalam paper ini.

Masalah Ketidakberdayaan MA

Hampir semua kelompok MA yang gagal meraih kembalinya pemerintahan adat selama kurun waktu 1999-2007adalah mereka yang menghadapi ketidakberdayaan yang luar biasa. Hadirnya LSM di dalam memfasilitasi perjuangan mereka pun tidak menjadi jaminan bagi diraihnya pemerintahan adat itu selama ketidakberdayaan masih begitu menonjol. Pengalaman kami dalam mengawal perjuangan MA di Soe NTT, Landak Kalimantan Barat, Musirawas Sumatra Selatan, Gianyar Bali dan Agam Sumatra Barat, dan bergabung dengan komunitas yang konsern dengan perjuangan MA mengungkapkan sejumlah keprihatinan dan harapan.

Pertama, banyak organisasi MA masih bersifat informal sehingga sulit untuk bangkit menjadi suatu gerakan sosial di daerahnya masing-masing. Reformasi dan hadirnya AMAN serta NGO yang ikut bergabung dengan mereka telah mengangkat keberanian mengungkapkan berbagai praktik marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah ataupun sektor bisnis kapitalistik seperti di Soe NTT. Akan tetapi, langkah mereka berhenti pada parade wacana kemarahan dan kekesalan terhadap praktik-praktik marginalisasi dan eksploitasi yang dialaminya. Mereka membutuhkan sebuah organisasi yang mempertemukan dan menjadi mediasi kepentingan mereka bersama. Sayangnya mereka dalam ketidakberdayaan telah mereproduksi budaya menunggu bantuan daripada bertindak sendiri dengan melakukan proses konsolidasi yang partisipatif.

Kedua, ketika para aktivis adat berhasil bangkit menghidupkan organisasinya, mereka ini kurang tanggap terhadap pentingnya kaderisasi, regenerasi dan kepemimpinan yang kuat serta demokratis dan partisipasi masyarakat. Gejala seperti ini muncul di berbagai daerah, misalnya di Musirawas, Sumatra Selatan. Para aktivis adat agak terlena dengan romantisme yang mengedialkan kepemipinan akan kuat jika memiliki kekuatan karismatik, Padahal yang diperlukan pada masa kini justru kepemipinan yang demokratis ditambah dengan kemampuan managerial dan rasional yang kuat.

Ketiga, ketika para aktivis MA di daerah telah membangun sebuah forum, jaringan atau arena untuk berjuang bersama, mereka gagal melakukan konsolidasi untuk merumuskan agenda perjuangan dan strategi aksinya. Kalaupun tidak gagal seperti yang dilakukan oleh para timanggung di Landak, tetapi sedikit lamban sehingga kalah dalam melakukan kontestasi politik dengan pihak-pihak yang pro dengan sistem pemerintahan desa. Nampaknya kontestasi politik itu akan dimenangkan oleh para aktivis adat jika memperoleh dukungan multipihak di tingkat daerah, dan nasional. Selama ini jika tidak salah dapat ditarik keseimpulan bahwa hampir semua organisasi adat di masing-masing kabupaten berjuang sendiri untuk mencapai kembalinya pemerintahan adat. Tidak ada solidaritas dan aksi horizontal antar organisasi adat lintas daerah dan dengan dukungan masyarakat sipil yang luas. Gejala itu sekaligus mengungkapkan masih lemahnya MA membangun jaringan dan bergerak menjadi salah satu kekuatan masyarakat sipil yang inklusif.

Keempat, organisasi MA perlu memiliki kemampuan untuk mengelola sumberdaya ekonomi secara mandiri untuk membiayai kegiatan organisasi dan sekaligus membuktikan kepada konsituennya bahwa mereka bisa berkiprah untuk peningkatan kesejahteraan bersama. Kehadiran organisasi MA masa silam memang menjalankan fungsi sebagai agen bagi kesejahteraan masyarakat. Ketemukungan di Timor, misalnya selain mengatur redistribusi tanah ulayat, juga mengatur bekerjanya pasar di dalam komunitas untuk menjamin warga memperoleh barang murah dan bagus dari para papalele (pedagang keliling), tetapi juga menjual barang kepada mereka.

Memperjuangkan kesejahteraan ekonomi warga baik melalui advokasi kebjakan atau memperkuat peran mereka sebagi agen pembangunan komunitas nampaknya sangat penting bagi para aktivis adat. Selama gerakan adat hanya bermuara pada perjuangan menuntut hak saja, maka pada giliranya akan kehilangan popularitasnya. Pilihan untuk mendahulukan diraihnya kekuasan politik di daerah memang merupakan suatu yang bersifat mendesak agar tidak kehilangan kesempatan yang langka. Akan tetapi, perlu juga misalnya melakukakan peran terhadap kemiskinan di komunitas, karena justru, akan sangat berguna untuk meningkatkan dukungan masyarakat luas atas gerakannya.

Dalam situasi keterbatasan anggaran operasional, karena tidak dimiliki kemandirian ekonomi dan dukungan warga komunitasnya. MA hanya bisa bekerja dengan mengandalkan pada dedikasi para aktivisnya, dan tidak dipungkiri bahwa banyak aktivis yang harus tekor untuk menggalang keberlanjutan organisasinya. Sebaliknya, tidak bisa dipungkiri pula bahwa mereka harus korporatis dengan pemerintah daerah guna untuk memperoleh dukungan anggaran. Situasi ini bisa membuat para aktivis kurang kritis terhadap rezim penguasa atau bisnis kapitalis di daerahnya yang menggunakan organisasi adat untuk mencari dukungan politik atau tameng bisnisnya semata.

Kelima, diperlukan ketrampilan berdemokrasi. Fenomena yang menonjol dari gerakan masyarakat adat sekarang adalah kuatnya kecenderungan untuk menghidupkan pemerintahan adat, tetapi kurang mengembangkan kapasitas organisasinya. Padahal proses penguatan organisasi selayaknya dilakukan melalui peningkatan pengetahuan, skill dan pengalaman para pengelolanya dan pengembangan managemen organisasi yang handal, dan menjalankan visi, misi dan program yang berorientasi pada pemberdayaan, bagi konstituennya dan berkelanjutan sehingga berwibawa di kalangan para stakeholdernya. Dengan demikian, maka desa adat akan semakin diperhitungkan oleh pemerintah maupun masyarakatnya, seperti desa pakaraman di Bali. Bahkan desa adat ini bisa menampilkan diri sebagai organisasi masyarakat sipil yang berkiprah untuk kebesaran budaya, agama dan pemberdayaan warganya. Dengan membawa peran yang terakhir ini desa adat lalu mendapat dukungan dari pemda.

Keenam, perlu dimiliki kapasitas dalam mengelola konflik dan melakukan konsolidasi antar faksi.. Kapasitas ini perlu dikembangkan dalam organisasi MA karena dalam realitas empiris mereka senantiasa dihadapkan pada persoalan konflik internal. Isu tentang gerakan adat di berbagai daerah sering ditemukan adanya faksi-faksi dalam tubuh mereka yang terbagi ke dalam kelompok muda versus tua, moderat dan konservatif, dan ikatan teritorial versus ikatan kultural, dan basis organisasi adat. Faksionalisasi itu sering menghambat gerakan adat merapatkan barisan di dalam menghadapi ancaman dari luar. Bahkan faksionalisasi itu telah menimbulkan konflik internal yang memperlemah gerakan adat tersebut. Lemahnya semangat dan kemampuan melakukan konsolidasi maka gerakan adat akan tidak berjalan efektif dan sering meresahkan mereka yang mengejar ketenangan.

Salah satu faksi yang bertikai adalah aktivis adat yang masih bernaung di bawah dewan atau lembaga adat bentukan rezim Orde Baru dan aktivis adat yang berada di luarnya yang menuntut semacam pemurnian gerakan adat. Kelompok “puritan” ini begitu kesalnya terhadap kelompok korporatis yang telah merusak atau paling tidak membiarkan hancurnya organisasi masyarakat adat pada masa Orde Baru dan kini, dan mereka ini dicurigai ingin terus berkuasa.

Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantra II di Lombok yang lalu, misalnya, muncul suatu desakan dari beberapa peserta untuk membubarkan organisasi adat buatan rezim Orde Baru itu. Sebaliknya, muncul peserta lain meminta agar dilakukan konsolidasi. Saran ini muncul karena dalam banyak kasus, para anggota dewan adat pun kemudian bergabung dengan kelompok “puritan” dan memiliki dedikasi yang tinggi setelah menyadari betapa rapuhnya perjuangan mereka jika saling tercerai berai. Kembalinya mereka ke dalam kelompok “puritan” itu karena para tokoh moderat dapat menggalang konsolidasi. Akan tetapi konsolidasi itu sangat sulit dilakukan di daerah ketika dewan dan lembaga adat pernah mengancam kehadiran kelompok aktivis “puritan”. Sakit hati dan kecurigaan terhadap aktivis adat korporatif itu menyebabkan aktivis “puritan” menolak mentah-mentah keberadaannya. Namun akibatnya adalah energi mereka menjadi terbagi-bagi antara harus berhadapan dengan kekuatan eksternal yang anti pemerintahan adat dan temannya sendiri.


Penutup

Makalah ini bukan dimaksudkan untuk mengihujat oraganisasi MA yang justru mengalami proses marginalisasi, tetapi sebaliknya mengajak untuk segera bangkit dan memanfaatkan peluang yang berkembang pada masa reformasi. Kerja para praktisi desa seperti yang digerakkan oleh APDESI dan Parade Nusantara dengan mendesa negara untuk menelorkan UU tentang desa hendaknya dimanfaatkan oleh para antivis adat sehingga regulasi itu nantinya akan menjiwai semangat dari perjuangan masyarakat adat, Inti perjuangan mereka bukan sekedar mengembalikan kedaulatan tetapi juga menjamin hak komunitas lokal atas mencapai kemandirian, keberdayaan dan kesejahteraan atas sumberdaya yang berada di wilayahnya.
DI tengah kenyataan bahwa konstitusi hasil amademen kurang menjamin eksistensi MA maka tidak berarti MA harus kecil hati. Perjuangan memang memakan waktu yang panjang, dan itu bisa dipercepat dengan memperkuat organisasi masyarakat sebagai suatu bagian dari masyarakat sipil yang tangguh di daerah sambil terus menerus mendorong dikembalikannya pemerintahan adat yang didukung oleh sistem yang demokratis dan partisipatif. Dengan demikian perjuangan itu disiapkan melalui penguatan modal sosial dan politik serta ekonomi, sehingga bukan sekedar perjuangan yang dibekali oleh solidaritas komunal atas nama korban negaranisasi dan eksploitasi rezim kapitalis yang berada di wilayahnya.

Catatan
1. Revisi Paper untuk bahan sarasehan pada Kongress MAN III di Kalimantan Barat pada tanggal 17-21 Maret 2007.
2. penulis dalam kapasitas sebagai Staff IRE dan anggota OC FPPD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar