Tampilkan postingan dengan label otonomi desa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label otonomi desa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 22 November 2009

Ekonomi Kerakyatan dan Pembaharuan Desa


oleh:
Bambang Hudayana

I
Selasa 23 Mei 2005 kiranya merupakan hari berkabung bagi mayoritas pelaku ekonomi di tanah air yang umumnya terdiri atas petani gurem, buruh tani, pengrajin dan pedagang kecil. Pada hari itu, Prof Mubyarto yang menjadi pejuang nasib mereka menghebuskan nafasnya yang terakhir. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan ekonomi Pancasila sebagai kata lain dari ekonomi kerakyatan.

Bagi kaum yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, maka perjuangan Prof Mubyarto itu amat mulia meskipun akan menuai kesepian karena melawan arus jaman. Ia mengkawatirkan begitu dominannya mazab neoliberalisme yang yang secara nyata telah menjadi instrumen bagi kaum kapitalis untuk memperluas ekspansinya ke semua sektor ekonomi. Kekwatiran itu terbukti dan membuat ekonomi kerakyatan yang dalam menjadi sumber nafkah sebagian besar penduduk di Indonesia justru melayani ekspansi kapitalis. Ironisnya kerja melayani ekspansi kapitalis itu hanya membuahkan nafkah hidup semakin pas-pasan dan sekedar sebagai alat untuk bisa survive. Lihat misalnya pedagang asongan yang berjualan dengan ancaman dan mereka ini menjajakan produk industri tanpa jaminan asuransi kecelakaan; para penjaja warung tegal yang melayani eksekutif muda berdasi di gedung bertingkat,tanpa dukungan kredit usaha, petani tembakau yang tunduk dengan harga yang dikendalikan pengusaha rokok yang memberikan kontribusi bagi pendapatan negara yang besar dari cukainya. Adapun yang paling menyolok adalah ketergantungan petani terhadap input prioduksi dari pasar, dan tanpa akses untuk mengontrol harga hasil buminya.

Dalam bukunya yang berjudul “Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan “ (1985), Prof Mubyarto mengikuti pikiran Geertz, bahwa orang Indonesia menjadi miskin bukan karena mempertahankan ekonomi tradisional (baca ekonomi kerakyatan) di tengah merebaknya ekonomi kapitalis asing yang digerakkan pemerintah jajahan Belanda melalui politik perkebunan. Apa yang terjadi adalah kapitalis yang melahirkan kemiskinan itu dengan mengembangkan perkebunan di tanah petani dengan harga sewa yang rendah, dan upah yang murah. Akibatnya ekonomi kerakyatan yang mereka bangun adalah untuk menyambung hidup di tengah ekspansi kapitalis yang menggerogoti kekayaan mereka itu.

II
Ketika memasuki era Orde Baru, ekspansi kapitalis berlanjut dan bersifat sangat masif. Trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas yang dinamis menjadi doktrin yang membuka akses kapitalis asing untuk menanamkan modal di seluruh sektor ekonomi. Industrialisasi di sektor manufaktur, perkebunan, pertanian, kehutanan, dan perkebunan pun berkembang dan pertumbuhan ekonomi bergerak naik. Akan tetapi itu kapitalisasi ekonomi itu mengorbankan penduduk desa menjadi suplayer tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi pertanian yang diberi nilai tukar rendah dibandingkan dengan produk industri. Akibatnya akumulasi kapital pun mengalir ke kapitalis asing dan kesenjangan ekonomi semakin melebar antar sektor perkotaan dengan pedesaan, sektor formal dengan informal, sektor kapitalis dengan prakapitalis.

Dengan mencermati trend globalisasi, Prof. Mubyarto mempertegas analisisnya bahwa pasar bebas akan mempercepat proses perindahan kapital masyarakat ke tangan kapitalis asing. Pandangannya tidak keluru ketika menyaksikan bahwa kapitalis global tidak hanya mengurangi peran negara dalam pengelolaan ekonomi tetapi juga mengurangi peran masyarakatnya juga. Privatisasi BUMN yang mengelola pelayanan publik menjadi contoh nyata bahwa negara menjadi pelayan setia kapitalis global yang konon menjajikan barang dan jasa murah tetapi secara nyata tetap dapat meraih untung yang besar karena merekalah yang kemudian mengontrol bekerjanya sistem produksi. Bahkan kapitalis global itu juga mengontrol bekerjanya konsumsi dengan menciptakan masyarakat yang konsumtif.

Menjelang akhir hayatnya, Prof Mubyarto memformulasikan kembali tentang ekonomi kerakyatan yang intinya sebagai berikut. Pertama: roda kegiatan ekonomi bangsa digerakan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Kedua: munculnya kekuatan dari masyarakat untuk mendorong terwujudnya keadilan sosial. Ketiga: terwujudnya perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri. Keempat terbangunnya perilaku ekonomi yang mengemban demokrasi ekonomi yang berprinsip pada kepentingan rakyat, kekeluargaan, koperasi dann usaha kooperatif. dan Kelima: keseimbangan yang dinamis, efisien dan adil antar pusat dengan daerah melalui desentralisasi ekonomi dan otonomi.

Gagasan Prof Mubyarto itu meletakan negara sebagai pemain penting dalam pengelolaan ekonomi. Konsitusi harus secara tegas mengamanatkan Indonesia sebagai welfare state, sehingga pasal 33 UU 1945 harus dipertahankan. Desentralisasi dan otonomi juga harus diwujudkan agar terjadi proses redistribusi ekonomi, keadilan dan pemerataan. Ia juga mengamanatkan bahwa eokonomi kerakyatan merupakan gerakan ekonomi yang tumbuh dari masyarakat.

Empat tahun belakangan ini Prof Mubyarto juga menaruh perhatian terhadap program pembaharuan desa di era reformasi dan khususnya otonomi desa. Sayangnya ia belum memberikan sebuah rumusan tentang arah dari otonomi desa dalam kerangka penguatan ekonomi kerakyatan. Dalam benak saya, otonomi desa akan lebih bermakna bila justru mendorong terwujudnya gerakan ekonomi kerakyatan. Tanpa mengambil pilihan ini maka pembaharuan desa yang salah satu agendanya mempromosikan otonomi desa (OTDES) akan kehilangan maknanya. Ada beberapa alasan yang susah diabaikan. Pertama: Pemerintahan desa merupakan lembaga paling dekat dengan kehidupan sehari-hari orang desa yang kebanyakan menghadapi masalah keterpurukan ekonominya, sehingga seharusnya lebih sensitif terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi warganya. Kedua: pemerintahan desa pada masa lalu justeru menjadi institusi lokal yang bekerja untuk mengelola ekonomi dalam kerangka terjuwudnya masyarakat sejahtera (welfare society). Tanah kas desa dan kekayaan lainnya, misalnya bukan hanya untuk mendanai anggaran Desa, tetapi juga menjadi sumber penghasilan warganya. Ketiga: Desa dapat menjadi filter masuknya eksploitasi kapitalis yang dapat berdampak bagi merosotnya ketahanan ekonomi desa. Keempat: desentralisasi di tingkat Desa tidak akan menjawab kemiskinan dan kerapuhan ekonomi desa bila tidak dialokasikan sebesar-besarnya untuk program ekonomi.

III
Masalahnya klasik untuk memperomosikan pembaharuan desa guna mengembangkan ekonomi kerakyatan adalah burunya dukungan regulasi. Bahkan UU 32/2004 yang mengatur tentang desa sepertinya tidak memberikan otonomi yang luas kepada Desa. Dengan UU ini desa tetap sebagai pemerintahan darurat yang bergantung pada kebaikan pemda. Terlepas dari ada tidaknya regulasi, prakarsa mewujudkan ekonomi kerakyatan menjadi bagian yang terpenting dari pembaharuan desa. Apabila ekonomi kerakyatan tidak menjadi visi dan misinya, maka pemerintahan desa akan menjadi beban ekonomi bagi warganya. Perannya lebih menampilkan diri sebagai regulator yang mengatur segala mancam perjinan dan mengkomersialkan perijinan itu untuk menjadi sumber pendapatan. Celakanya Desa akan sangat responsif dengan berbagai bentuk investasi dari luar ke wilayahnya karena kelinmpahan rezeki sebagai broker dalam memfasilitasi proses masuknya investasi seperti mencarikan tanah dan menggali dukungan komunitas. Desa juga akan memerankan diri sebagai kumpulan dari para elite yang memperkukuh previllage dan status sosialnya dihadapan massa orang desa.

Meletakan ekonomi kerakyatan sebagai pekerjaan Desa berarti berbagi peran dengan pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan pengembangan ekonomi. Desa mempunyai peran menggerakkan ekonomi kerakyatan di level lokal seperti mendorong penguatan modal social, jaminan sosial, arisan, kredit mikro, peralatan produksi pertanian, koperasi, pasar desa, dan berbagai inisiatif yang membuat masyarakat mempunyai akses berusaha dan bekerja.

Masalahnya muncul lagi yaitu desa tidak memiliki keberanian untuk melakukan rasionalisasi atas visi, misi, kebijakan dan program ekonomi kerakyatan. Desa selalu bralasan kekurangan dana. Pengamatan sementara mencatat bahwa dengan APBDes yang amat kecil sekitar Rp. 25 - 100 juta, tetapi dengan penduduk sekitar 5.000 jiwa saja terbagi ke dalam lima dusun atau kampung, maka jika programnya banyak, pos untuk pemberdayaan ekonomi kalau diadakan jumlahnya pasti kecil. Anggaran akan banyak dihabiskan untuk gaji dan kegiatan rutin baru kemudian untuk pembangunan fisik.

Kecilnya dana desa seharunya tidak menjadi penghalang untuk menggerakan ekonomi kerakyatan. Desa tidak perlu menghabiskan anggaran untuk pembangian fisik, tetapi harus berani mengalokasikan untuk mendukung kekuatan ekonomi warganya. Oleh karena itu desa harus melakukan rasionalisasi program dan anggaran. Barangkali rasionalisasi yang dilakukan adalah mengurangi peran mengelola pelayanan sosial yang tidak perlu. Desa juga tidak perlu banyak mengurusi masalah kemasyarakatan, tradisi dan kegiatan keagamaan karena masalah ini dapat diserahkan kepada masyarakat sendiri. Desa berkonsentrasi pada pengembangan sumber nafkah hidup warganya. Ia berperan sebagai agen informasi pekerjaan, dan menyediakan budget tahunan untuk mendorong penguatan modal sosial, ketrampilan, managemen dan kegiatan ekonomi masyarakatnya. Lewat peran itulah desa dapat menarik dana dari masyarakat dan menjalankan peran sebagai redistributor atas kekayaan desa untuk memajukan kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Dengan peran seperti itu, prestasi desa terletak pada kemampuan mengelola anggaran dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan prakrasa lokal dalam mengembangkan kemandirian ekonomi. Apaila gagasan itu terwujud maka konsep ekonomi kerakyatan pun membumi, masyarakat dengan pemerintahannya bergayung membangun kemandirian ekonomi.

Bila pembaharuan desa mengambil pilihan utama pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan itu , maka konsekuensi pemerintahan desa pun harus dirombak. Ia bukan lagi tampil sebagai regulator tetapi menjadi lebih banyak berperan sebagi fasilitator masyarakatnya. Pemerintahan desa bukan lagi penjadi kepanjangan tangan negara dan para penguasa di aras lokal, tetapi insititusi ekonomi masyarakatnya. Revisi atas tulisan pada BULETIN MUDIK, 20005

Jumat, 20 November 2009

Njajah Desa Milangkori


Oleh: Bambang Hudayana

Perdagangan tidak banyak memberi keuntungan
Sekalipun engkau tanam lada, wahai sahabatku
Jika tiada butir padi di negeri ini….
Apa bagusnya ikat kepala bangsawan atau keris bergagang emas
Jika tiada pangan di negeri ini
Para pengusa dan pangeran akan kehilangan kewibawaan
Sekalipun engkau berkelimpahan emas, apalah gunanya jika dirimu kelaparan?

Hikayat Pacur Muhammad 166-167

Pantun dalam Hikayat Pancur Muhammad itu menarik perhatian Anthony Reid, sejarawan yang mencermati asal usul kemiskinan di Asia Tenggara abad ke 17, saat para penguasa lokal gandrung dengan yang namanya perdagangan internasional dengan cara memobilisasi rakyat desa taklukannya untuk menanam berbagai tanaman komoditas global. Pada abad itu, perdagangan di Asia Tenggara dikuasai VOC dan maskapai dagang Belanda ini bersama-sama dengan para penguasa lokallah yang menikmati monopoli perdagangan rempah-rempah dengan menekan harga serendah-rendahnya dari rakyat, dan membiarkan harga beras dari luar masuk dan memumbung tinggi harganya.

Kisah masa lalu itu terus berlangsung dan semakin mantap hingga masa kini ketika Indonesia masuk ke dalam era globalisasi. Para penguasa menjadikan rakyat sebagai objek dagang, tidak diarahkan untuk mencapai kemandirian. Rakyat menjadi konsumen produk luar negeri, eksportir bahan baku tetapi teancam kelaparan dan memumbungnya harga bahan pangan. Pemerintah lebih memilih impor beras, dan jika terjadi surplus lalu melakukan ekpor. Dalil bahwa kekuarangan beras menjadi ancaman kemiskinan dan gejolak politik bisa meruntuhkan penguasa mempunyai landasan empiris. Namun dalil itu justru dijawab dengan pilihan untuk impor beras daripada mendorong produsen yang umumnya petani kecil dan buruh tani menikmati komoditas pangan ini.

Logika dagang memang telah merasuki alam pikiran para penguasa bahwa berdagang beras bisa mendatangkan keuntungan dan mengurangi ancaman kelangkaan beras di dalam negeri. Akan tetapi, ketika logika ini diterapkan serangkain pemiskinan merambah lapisan bawah tidak terkecuali sebagaian besar penduduk desa yang ironisnya justru menjadi produsen beras itu karena negara menjadi pedagang seperti negara di Asia Tenggara abad 17 yang mencari sumber keuangan yang paling gampang walaupun merugikan rakyatnya.

Konsekuensi dari impor beras adalah harusnya beras di dalam negeri murah. Namun gejalanya tidak karena beras impor juga mahal sehingga keluarga dari lapisan bawah harus menguras pendapatannya untuk sekedar makan. Para petani kecil seharusnya menikmati harga beras yang mahal, tetapi rupa-rupanya tidak karena dua alasan. Pertama: harga beras dari tangan petani yang biasanya dalam bentuk gabah sangat rendah, dan selisih harga gabah dengan beras justru dinikmati oleh pedagang istimewanya pedagang besar. Kedua: naiknya harga gabah tidak bisa mengejar naiknya harga saprodi karena berkurangnya subsidi pemerintah. Bahkan ada indikasi bahwa produksi itu juga menjadi komoditas ekspor sehingga mengancam ketersediaan supplai di dalam negeri. Logika perdagangan global memang menghalalkan ekspor asupan produksi ketika mendatangkan keuantungan yang tinggi, dan mengimpor beras ketika dinilai lebih murah daripada menanam sendiri. Namun logika itu menjadi ancaman kemiskinan dan keadilan sosial, ketika penyebab mahalnya asupan produksi di dalam negeri bersumber dari komoditiasasi global yang mengeruk keuntungan yang besar dari produsen kecil yang harus membayar mahal alat-alat produksinya sekalipun keuntngannnya kecil karena jika tidak dilakukan maka tidak bisa makan dan survive.

Acaman petani di era globalisasi itu menambah daftar rentang masalah yang harus dipecahkan dalam agenda pembaharuan desa. Banyak kalangan yang mendesak dilakukannya reformasi agraria yang menajamin tersedianya alat-alat produksi berada dalam kontrol petani dan menjamin tersedianya lahan yang memadai bagi setiap petani untuk bisa berproduksi secara rasional, kompetitif dan mendapatkan keuantungan yang bisa mengangkat hidupnya sejahtera dan bermartabat. Akan tetapi, reformasi agraria ini hanya mungkin ketika negara dan para penguasanya benar-benar bukan menampilkan diri dengan watak pedagang, dan prasyarat itu sepertinya tidak akan muncul tanpa diawali oleh adanya gerakan petani yang didukung oleh semua elemen masyarakat sipil. Proses pemunculannya pun dipastikan masih amat panjang dan penuh ketidakpastian karena kuatnya acaman globalisasi yang sudah menjalar masuk ke desa sehingga memecah barisan perjuangan kaum tani.

Beriringan dengan agenda reformasi agraria, desa sebagai komunitas agraris perlu didorong menjadi sebuah pemerintahan lokal yang lebih menjawab kepentingan pertanian kerakayatan. Agenda itu sepertinya agak terabaikan dan menuai berbagai masalah. Pertama: perjungan otonomi desa selalma ini lebih bernuasa pada berkembangnya pemerintahan desa yang menjalankan fungsi desentralisasi dengn harapan bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi desa dapat direspon dengan lebih partisipatif. perjuangan untuk meraih otonomi semacam itu nampaknya membuahkan hasil. Akan tetapi langkah yang berkembang selama ini untuk mengusung otonomi desa nampaknya masih bergerak pada terbangunnya pemerintahan desa yang formal dan sedikit demokratis dan partisipatif.

Kini semakin jelas bahwa otonomi desa memang menjadi salah satu jalan keluar untuk memcahkan tentang lemahnya fungsi pemerintahan desa, dan terapinya adalah dijaminnya desa memiliki kewenangan yang luas dan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk mendanai kebutuhannya. Namun demikian, sangat merisaukan bila gerakan otonomi desa tidak sampai menjawab masalah mendasar yang dihadapi masyarakatnya yaitu ketidakberdayaan ekonomi di tengah arus globalisasi. Kiranya otonomi tidak akan bermakna ketika desa tidak memiliki ideologi pemerintahan komunitarian yang menjadi kekuatan masyarakat untuk mengontrol bekerjanya negara dan pasar. Barangkali bila kewenangan desa diarahkan untuk menjawab masalah kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan ekonomi dan ADD dianggarkan untuk itu, maka otonomi menjadi lebih bermakna untuk menjawab masalah desa yang paling akut dan medasar dalam sejarah perdanganan di Asia Tenggara sebagaimana Antony Reid ingatkan melalui pantun di atas. Mudik edisi kali ini mengingatkan tentang ancaman desa kekinian itu dan diharapkan agenda otonomi desa ke depan akan lebih bermakna. Tulisan ini merupakan perbaikan dari editorial dalam Mudik. Penulis OC FFPD dan Peneliti IRE-Yogyakarta