Oleh: Bambang Hudayana
Perdagangan tidak banyak memberi keuntungan
Sekalipun engkau tanam lada, wahai sahabatku
Jika tiada butir padi di negeri ini….
Apa bagusnya ikat kepala bangsawan atau keris bergagang emas
Jika tiada pangan di negeri ini
Para pengusa dan pangeran akan kehilangan kewibawaan
Sekalipun engkau berkelimpahan emas, apalah gunanya jika dirimu kelaparan?
Hikayat Pacur Muhammad 166-167
Pantun dalam Hikayat Pancur Muhammad itu menarik perhatian Anthony Reid, sejarawan yang mencermati asal usul kemiskinan di Asia Tenggara abad ke 17, saat para penguasa lokal gandrung dengan yang namanya perdagangan internasional dengan cara memobilisasi rakyat desa taklukannya untuk menanam berbagai tanaman komoditas global. Pada abad itu, perdagangan di Asia Tenggara dikuasai VOC dan maskapai dagang Belanda ini bersama-sama dengan para penguasa lokallah yang menikmati monopoli perdagangan rempah-rempah dengan menekan harga serendah-rendahnya dari rakyat, dan membiarkan harga beras dari luar masuk dan memumbung tinggi harganya.
Kisah masa lalu itu terus berlangsung dan semakin mantap hingga masa kini ketika Indonesia masuk ke dalam era globalisasi. Para penguasa menjadikan rakyat sebagai objek dagang, tidak diarahkan untuk mencapai kemandirian. Rakyat menjadi konsumen produk luar negeri, eksportir bahan baku tetapi teancam kelaparan dan memumbungnya harga bahan pangan. Pemerintah lebih memilih impor beras, dan jika terjadi surplus lalu melakukan ekpor. Dalil bahwa kekuarangan beras menjadi ancaman kemiskinan dan gejolak politik bisa meruntuhkan penguasa mempunyai landasan empiris. Namun dalil itu justru dijawab dengan pilihan untuk impor beras daripada mendorong produsen yang umumnya petani kecil dan buruh tani menikmati komoditas pangan ini.
Logika dagang memang telah merasuki alam pikiran para penguasa bahwa berdagang beras bisa mendatangkan keuntungan dan mengurangi ancaman kelangkaan beras di dalam negeri. Akan tetapi, ketika logika ini diterapkan serangkain pemiskinan merambah lapisan bawah tidak terkecuali sebagaian besar penduduk desa yang ironisnya justru menjadi produsen beras itu karena negara menjadi pedagang seperti negara di Asia Tenggara abad 17 yang mencari sumber keuangan yang paling gampang walaupun merugikan rakyatnya.
Konsekuensi dari impor beras adalah harusnya beras di dalam negeri murah. Namun gejalanya tidak karena beras impor juga mahal sehingga keluarga dari lapisan bawah harus menguras pendapatannya untuk sekedar makan. Para petani kecil seharusnya menikmati harga beras yang mahal, tetapi rupa-rupanya tidak karena dua alasan. Pertama: harga beras dari tangan petani yang biasanya dalam bentuk gabah sangat rendah, dan selisih harga gabah dengan beras justru dinikmati oleh pedagang istimewanya pedagang besar. Kedua: naiknya harga gabah tidak bisa mengejar naiknya harga saprodi karena berkurangnya subsidi pemerintah. Bahkan ada indikasi bahwa produksi itu juga menjadi komoditas ekspor sehingga mengancam ketersediaan supplai di dalam negeri. Logika perdagangan global memang menghalalkan ekspor asupan produksi ketika mendatangkan keuantungan yang tinggi, dan mengimpor beras ketika dinilai lebih murah daripada menanam sendiri. Namun logika itu menjadi ancaman kemiskinan dan keadilan sosial, ketika penyebab mahalnya asupan produksi di dalam negeri bersumber dari komoditiasasi global yang mengeruk keuntungan yang besar dari produsen kecil yang harus membayar mahal alat-alat produksinya sekalipun keuntngannnya kecil karena jika tidak dilakukan maka tidak bisa makan dan survive.
Acaman petani di era globalisasi itu menambah daftar rentang masalah yang harus dipecahkan dalam agenda pembaharuan desa. Banyak kalangan yang mendesak dilakukannya reformasi agraria yang menajamin tersedianya alat-alat produksi berada dalam kontrol petani dan menjamin tersedianya lahan yang memadai bagi setiap petani untuk bisa berproduksi secara rasional, kompetitif dan mendapatkan keuantungan yang bisa mengangkat hidupnya sejahtera dan bermartabat. Akan tetapi, reformasi agraria ini hanya mungkin ketika negara dan para penguasanya benar-benar bukan menampilkan diri dengan watak pedagang, dan prasyarat itu sepertinya tidak akan muncul tanpa diawali oleh adanya gerakan petani yang didukung oleh semua elemen masyarakat sipil. Proses pemunculannya pun dipastikan masih amat panjang dan penuh ketidakpastian karena kuatnya acaman globalisasi yang sudah menjalar masuk ke desa sehingga memecah barisan perjuangan kaum tani.
Beriringan dengan agenda reformasi agraria, desa sebagai komunitas agraris perlu didorong menjadi sebuah pemerintahan lokal yang lebih menjawab kepentingan pertanian kerakayatan. Agenda itu sepertinya agak terabaikan dan menuai berbagai masalah. Pertama: perjungan otonomi desa selalma ini lebih bernuasa pada berkembangnya pemerintahan desa yang menjalankan fungsi desentralisasi dengn harapan bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi desa dapat direspon dengan lebih partisipatif. perjuangan untuk meraih otonomi semacam itu nampaknya membuahkan hasil. Akan tetapi langkah yang berkembang selama ini untuk mengusung otonomi desa nampaknya masih bergerak pada terbangunnya pemerintahan desa yang formal dan sedikit demokratis dan partisipatif.
Kini semakin jelas bahwa otonomi desa memang menjadi salah satu jalan keluar untuk memcahkan tentang lemahnya fungsi pemerintahan desa, dan terapinya adalah dijaminnya desa memiliki kewenangan yang luas dan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk mendanai kebutuhannya. Namun demikian, sangat merisaukan bila gerakan otonomi desa tidak sampai menjawab masalah mendasar yang dihadapi masyarakatnya yaitu ketidakberdayaan ekonomi di tengah arus globalisasi. Kiranya otonomi tidak akan bermakna ketika desa tidak memiliki ideologi pemerintahan komunitarian yang menjadi kekuatan masyarakat untuk mengontrol bekerjanya negara dan pasar. Barangkali bila kewenangan desa diarahkan untuk menjawab masalah kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan ekonomi dan ADD dianggarkan untuk itu, maka otonomi menjadi lebih bermakna untuk menjawab masalah desa yang paling akut dan medasar dalam sejarah perdanganan di Asia Tenggara sebagaimana Antony Reid ingatkan melalui pantun di atas. Mudik edisi kali ini mengingatkan tentang ancaman desa kekinian itu dan diharapkan agenda otonomi desa ke depan akan lebih bermakna. Tulisan ini merupakan perbaikan dari editorial dalam Mudik. Penulis OC FFPD dan Peneliti IRE-Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar