Sabtu, 21 November 2009

Jo Santoso. 2002. Menyiasati KOTA TANPA WAR GA. Jakarta. Centropolis( Bedah Buku)

Oleh: Bambang Hudayana

Pendahuluan

Sayang buku yang baik ini baru dibedah di Yogyakarta setelah empat tahun terbit. Ketika akan membaca buku ini, saya tergelitik oleh judulnya. Kata mensiasati berarti mencari akal, dan bisa lebih tegas MELAWAN. Kata ini yang sedang saya cari sebagai warga negara maupun bagian dari komunitas akademis yang risau atas perkembangan kota selama ini. Media senantiasa memberitakan kasus-kasus:

Penggusuran, penertiban
Menjamurnya kampung kumuh dan kemiskinan
Berjejalnya PKL
Kriminalitas yang semakin vulgar
Kebakaran dan bencana banjir

Semua gejala yang merebak di perkotaan itu, dalam alam pikiran saya merupakan akibat dari berkembangnya kota tanpa warga, artinya suatu penataan kota yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Kota menjadi sangat elitis dan menjadi bagian dari kepentingan pasar daripada masyarakat sipil .

Buku ini sepertinya akan memberikan jalan bagi saya untuk menemukan jurus menuju terbangunnya kota yang dicintai, dimiliki dan dikembangkan oleh warganya. Namun demikian setelah membaca secara cepat, buku ini lebih banyak “menyindir” atas perkembangan kota yang elitis dan kapitalistik daripada melakukan strategi perlawanan.

Pada bab 1, ketika mengawali diskusi tentang asal mula perkembangan kota, penulis dengan cermat menggambarkan tentang salah satu fungsi kota sebagai oikos, yang mengemban nilai-nilai komunal bagi kesejahteraan bersama. Namun demikian, saya melihat kota juga sarat dengan konsentrasi kekuasaan sehingga nilai-nilai tersebut terancam eksistensinya. Kota lahir untuk kepentingan elit membangun kekuasaan bukan berbagi kuasa untuk kesejahteraan warganya.

Pada bab 2, penulis dengan tajam menggambarkan tentang dua sebab utama keterpurukan kota di Indonesia.
Pertama: pembangunan kota sarat dengan kepentingan neoliberalisme dan membuat kepentingan warga terabaikan, sebaliknya kepentingan bisnis kapitalis yang diutamakan.

Kedua: perencanaan kota dengan paradigma lama. Di sini perencanaan dimonopoli oleh birokrat, daripada teknokrat yang handal ditambah dengan keterlibatan sektor swasta

Semua model itu bertumpu pada apa yang disebut ideology liberal. Dampaknya adalah munculnya disintegrasi antara fungsi ekonomi dan sosial. Kalau menurut saya, dampaknya lebih serius yaitu justru berkembangnya slum, kriminalitas, pelacuran dan eksploitasi berkelanjutan terhadap orang miskin.

Pada bab 3 Penulis mengajak untuk menyimak tentang membangun kota berdasarkan prinsip good governance. Penulis baru menyebutkan munculnya RPP mengenai Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan yang belum diberlakukan sampai 20004.

RPP menegaskan pentingnya good governance, sehingga keberadaan masyarakat spil harus dilibatkan dalam pembangunan perkotaaan. Sayang, meskipun masih berupa RPP, penulis perlu banyak menceritakan tentang perkembangan dari aplikasi good governance dalam pengelolaan kota di Indonesia atau di dunia pada umumnya.

Sebenarnya sejak reformasi gaung good governcane telah mempengaruhi dinamika pengembangan kota di beberapa daerah. Jika membaca kasus kota Majalaya di Jawa Barat, misalnya, kita akan memperoleh pelajaran berharga dari hadirnya masyarakat sipil yang kuat. Sebelum ada forum masyarakat Majalaya jalan di kota becek, semrawut dan tidak aman. Para pengusaha membiarkan kota itu semakin kumuh demikian juga pemerintah daerah. Para aktivis forum kemudian mendorong Pemda dan pengusaha bergabung untuk melakukan penataan kota lebih baik (transparan, akuntabel, partisipatif). Kiprah forum itu berbuah, kini Majalaya berseri dan warganya bergandeng tangan dengan Pemda dan pengusaha menjaga kebersihan, ketertiban dan keamanan kota.

Di Solo, Sompis (Solidaritas Masyarakat Pinggiran Solo) jiga menjadi salah satu kekuatan warga yang berhasil membangun kota dengan baik. Mereka mendorong penataan tata ruang lebih adil. Mereka memperjuangkan nasib PKL untuk mendapatkan lahan bekerja di tengah meluasnya ekspansi kapitalis. Akhirnya, di Solo kini bisa muncul perda tentang PKL yang melindungi kepentingannya.

Contoh di atas sesungguhnya yang ingin diketahui dari saya tentang buku karya Jo Santoso yang sangat berharga ini untuk menyimak tentang langkah menyiasai kota yang dibangun tanpa partisipasi warga.

Pada bab 4, penulis dengan baik telah menjelaskan tiga strategi pengembangan kota berkelanjutan, yaitu meningkatkan standar liability, pengembangan dan pembinaan kawasan perkotaan, dan pengembangan dana ventura dan bank pembangunan infrastruktur. Semuanya tidak keliru, tetapi jika konsisten untuk mengembangkan kota secara lebih populis, maka perlu diutamahkan strategi yang mengedepankan pendekatan partisipatory. Solo dan Majalaya menjadi contoh penting dalam gerakan LSM untuk membangun kota yang berpihak kepada kaum yang lemah karena lewat paritispasi itu hubungan antar kota menjadi semakin baik tanpa kekerasan dan kesemrawutan lagi.

Pada bab 5, penulis mencatat tentang perkembangan kampung di Suarabaya, dengan menojolkan konsep rukun, dan munculnya kebutuhan masyarakat untuk mengembangkan kota yang mencitrakan nilai masa lalu, skearang dan masa depan. Bab ini sangat menarik untuk bahan renungan saya tentang keberadaan kampung yang menekankan rukun. Saya menemukan gejala rukun di semua komunitas kampung di Indonesia (lihat juga Disertasi Guinesss tentang kampung di Yogyakarta). Saya setuju bahwa rukun mencitrakan ideologi komunal, tetapi juga strategi untuk survive di tengah mengegalanya ekspansi asar dalam kehidupan di komunitas.

Pada bab 6, penulis mengajak dialog tentag startegi pembangunan, antara pembangunanyang menggunakan model CD per kampung atau reinventing kota secara keseluruhan. Ia memilih yang kedua karena lebih otentik dan menjawab potensi yang berkembang dalam masyarakat. Menurut saya, strrategi reinventing kota seperti itu memang tepat. Namun demikian, CD tetap saja diperlukan dalam arti untuk mengangkat kelompok yang lemah dalam kehidupan kota yang sangat kompetitif. Kaum miskin kota merupakan menyumbang kemajuan kota, seperti kota Jakarta misalnya, sehingga mereka patut mendapat perlakukan khusus sebagai korban dari pembangunan. Perlakukan khusus itu hanya mungkin dilakukan melalui program CD..


Penutup

Meskipun dalam hemat penulis buku ini belum menyajukan strategi yang jitu untuk mewujudkan kota yang dikelola secara partisipatif dan membuahkan kesejahteraan bagi golongan miskin, buku ini telah memberikan suatu tantantang ke depan untuk mengkaji peran dan perlawanan kaum miskin dalam pengembangan kota. Buku ini telah memberikan gambaran yang memadai mengenai kecenderungan kota dikembangkan untuk kepentingan elit dan bisnis kapitalis dari perspektif para ahli arsitektur. Buku ini juga mengajari tentang strategi pengembangan kota yang teknokratis yang dibutuhkan pula pada masa kini di tengah menggejalanya arus demokrasi dan partisipasi agar tidak kebablasan.Bedah buku ini disampaikan berssama penulisnya di dalam Pertemuan Mahasiswa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM di Benteng Vredenberg, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar