Kamis, 19 November 2009

Modal Sosial Mbok Kromo


Oleh: Bambang Hudayana

Kisah Mbok Kromo dan kampungnya menegaskan bahwa modal sosial kalau dikelola dengan baik dan benar justru lebih mampu memberdayakan warganya. Demikian pula dapat memberdayakan penduduk desapada umumnya yang merupakan kelompok terbesar penduduk Indonesia.

Apa modal andalan yang dimiliki kaum miskin untuk memberdayakan dirinya? Sudah barang tentu bukan harta, karena kemiskinannya ditandai oleh tiadanya kepemilikan penghasilan guna meningkatkan taraf hidupnya. Akan tetapi, agar mereka dapat terentas dari kemiskinannya, para praktisi masih banyak yang berupaya dengan memberikan santunan. Jauh lebih dari santunan, mereka juga diberi modal usaha agar dapat mengembangkan kegiatan ekonomi skala kecil. Pemberian santunan, bantuan kredit dan sejenisnya itu sesungguhnya bukan suatu upaya pemberdayaan, melainkan menjadikan mereka sebagai objek dari perbuatan “kedermawanan”. Celakanya, kemiskinan justru terus menggejala. Terbukti pula kaum miskin tidak dapat mengembalikan kredit. Hal ini karena kemiskinan itu merupakan produk dari ketidakadilan struktural yang diciptakan oleh kebijakan politik, ekonomi dan sosial-kultural. Tidak ketinggalan strategi pengentasan kemiskinan dengan menerapkan model social safety net dan pengucuran dana justru menumbuhkan bakat kaum miskin untuk bermanja: menanti, menunggu atau mengejar sedekah.

Kisah Mbok Kromo (usia 70 tahun) di Dusun Poton, sebuah kampung di pinggiran Kota Yogyakarta mengajarkan kepada kita bahwa modal andalan yang dapat dipakai untuk mengentaskan kaum miskin adalah modal sosial. Komunitas Poton ternyata mempunyai berbagai modal sosial yang menjamin orang miskin dapat hidup layak dengan menghargai sebagai warga yang hak-haknya dihargai. Empat puluh tahun yang lalu seharusnya ia mulai hidup sebagai gelandangan. Betapa tidak. Suaminya yang buruh tani meninggal tanpa harta warisan sedikitpun. Anaknya, si buah hati meninggal pula ketika masih bayi karena sakit yang tidak terobati. Ia mencari kampung untuk menjadi persinggahan terakhir, ditengahi menyandang sakit dan rabun mata. Kampung Poton lah yang ramah dengan dirinya. Warga menyediakan tanah baginya. Warga bergotong-royong membangun gubuk untuknya. Di usia tua ia berpotensi untuk mengemis, tetapi kebaikan orang Poton telah mendorong ia harus menunjukkan kemampuannya untuk bekerja. Oleh karena itu pula orang Poton tidak menyebut dirinya golongan pengemis. Mereka menempatkan Mbok Kromo sebagai warga yang sehat. Mbok Kromo masih menabung sedikit demi sedikit. Ia pelihara kutuk (anak ayam), dan dari piaraan satu bertambah menjadi beberapa ekor. Ia jual ke pasar untuk makan. Celakanya matanya yang rabun mengantarkannya mengalami kecelakaan tertabrak mobil dan motor. Kini ia pincang, jalannya tergopoh-gopoh, tetapi ia tetap saja bekerja. Ia sering menyapu halaman tetangga untuk mendapat imbalan seikhlasnya. Mbok Kromo tetap dapat hidup di kampung Poton itu. Pasalnya komunitas Poton mengembangkan sesuatu yang dalam bahasa Putnam disebut modal sosial.

Putnam melihat bahwa modal sosial merupakan suatu kekuatan yang mewujudkan komunitas humanistik.. Modal sosial menjadi elemen penting bagi warga masyarakat untuk peduli dengan kepentingan bersama. Lebih dari itu, modal sosial itu menjadi elemen yang penting untuk menuju masyarakat yang demokratis. Modal sosial itu merupakan apa yang disebut sebagai serangkaian dari ”asosiasi-asosiasi horisontal” antar warga yang di dalamnya terdiri atas jaringan-jaringan sosial dan norma-norma terkait yang mempunyai suatu pengaruh positif terhadap pembangunan komunitas. Modal sosial itu berperan sebagai fasilitator terbangunnya koordinasi, kerjasama bagi warga komunitas dalam mewujudkan kehidupan sosial. Melalui perkumpulan yang bersifat horisontal ini warga dapat mengatualisasikan kepentingannya, dan mempunyai kepedulian yang tinggi dalam menyikapi dan mengelola masalah publik, dan akhirnya mereka pun peduli terhadap kelembagaan demokrasi yang merupakan serangkaian aturan main dalam menentukan kebijakan publik. Kemampuan komunitas warga mewujudkan kehidupan yang demokratis karena dalam komunitas seperti ini selalu terlembaga: (1) kesepakatan-kesepakatan; (2) keseteraan secara politis, solidaritas, kepercayaan dan toleransi; serta (3) struktur sosial yang kooperatif antar warga.

Cerita Mbok Kromo itu mengungkapkan bahwa komunitas Poton telah mengembangkan modal sosial yang dapat menjamin warganya untuk memperoleh asuransi sosial. Mbok Kromo dapat memperoleh asuransi sosial karena menjadi warganya dan telah menjalankan kewajiban sosial semampunya. Komunitasnya telah sepakat untuk memberi makan jika ia sakit, dan memberi imbalan bila ia bekerja sesuai dengan kemampuannya. Ketika tanah yang ditempati akan dijual oleh pemiliknya, warga kampung telah menyiapkan tempat untuk berlindung. Bahkan pemiliknya pun sudah wanti-wanti agar Mbok Kromo jangan diusir selagi di atas tanah itu belum didirikan bangunan.

Di Poton berbagai asuransi sosial dikembangkan untuk menolong orang yang sakit, mendapat musibah, melahirkan anak, membutuhkan bantuan keamanan dan bantuan tenaga kerja untuk membangun rumah dan sebagainya. Asuransi sosial itu diwujudkan dengan menyelenggarkan ronda, jimpitan beras, arisan, penarikan langganan listrik secara kolektif, penanaman tanaman komoditi di sepanjang jalan, sambatan, dan gotong-royong.

Poton bukan hanya merupakan kumpulan warga yang miskin sehingga solidaritas sosial dapat tumbuh dengan mudah. Poton relatif heterogen dan selama dua dasawarsa ini mereka dapat membangun berbagai kesepakatan dan kerjasama untuk menggalang berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi pembangunan komunitasnya. Memang benar apa yang dikatakan Grotaert (1996) bahwa modal sosial dapat menjadi kekuatan menggerakkan perekonomian kaum miskin. Ia menemukan banyak bukti bahwa modal sosial telah berpengaruh terhadap pertumbuhan, pemerataan ekonomi serta pengentasan kemiskinan. Perkumpulan dan kelembagaan sosial menyediakan suatu kerangka kerja untuk mengorganisir sharing informasi, koordinasi aktivitas dan pengambilan keputusan kolektif. Para pengurus kampung mengusahakan agar warganya selalu mudah mengakses pekerjaan di kampungnya. Pendatang baru yang akan membangun rumah diminta menggunakan tenaga dari kampungnya. Mbok Kromo yang tua renta akhirnya kecipratan kesempatan kerja pula dengan menyediakan tenaganya untuk membersihkan rumah baru. Pengurus juga kadang mengadakan berbagai acara hiburan yang dikelola warga dan pemuda sebagai ajang berlatih mengembangkan usaha dan menggalang dana sosial.

Heteroginitas, urbanisasi dan bahkan merebaknya arus global tidak menjadikan warga Poton mengesampingkan perkumpulan komunitas. Mereka telah memetik hasil dari bekerjanya modal sosial di kampungnya sehingga komitmen mengembangkan perkumpulan komunitasnya justru terus tumbuh subur walaupun mereka hidup dari lapangan pekerjaan yang berbeda dan gaya hidup yang relatif berlainan.

Kisah Mbok Kromo dan kampungnya itu menegaskan bahwa modal sosial kalau dikelola dengan baik dan benar justru lebih mampu memberdayakan warganya. Demikian pula dapat memberdayakan penduduk desa pada umumnya yang merupakan kelompok terbesar penduduk di pedesaan. Apa yang dimiliki orang desa bukan lagi harta benda tetapi tinggal modal sosial saja. Masalahnya adalah modal sosial di pedesaan yang dulunya merupakan kearifan lokal dan komunitarianisme telah tererosi oleh intervensi hegemoni negara dan kapitalis.

Intervensi negara dan kapitalis itu menyebabkan orang desa menjadi heterogen dan mereka bekerja sendiri-sendiri dalam memasuki arena politik dan ekonomi. Mereka saling berkelahi dengan menghancurkan modal sosial milik bersama. Contoh konkrit adalah rekayasa negara dan kapitalis terhadap perekonomian desa melalui pembentukan KUD, KUT dan kelompok tani dalam mengimplementasikan program Revolusi Hijau. Mereka harus tergantung dengan pasar untuk memperoleh input produksi dan memasarkan gabah. Harga gabah selalu rendah, sedangkan harga pupuk dan obat-obatan selalu tinggi. Satu kelompok yang terdiri orang kaya dan elite desa ikut menikmati rekayasa pertanian itu dengan menjadi agen pemerintah dan kapitalis dengan menjadi distributor pupuk, kredit dan tengkulak gabah. Namun kelompok yang lain, yang merupakan mayoritas, menjadi korban karena terjerat kredit yang nunggak, jatuh ke tangan lintah darat, dan gagal panen karena terlambatnya memperoleh air, pupuk, dan obat-obatan serta sistem pertanian ala Revolusi Hijau yang rentan dengan ketidakamanan ekologis.

Apabila kaum tani dapat menyatukan barisannya, mustahil mereka terpuruk seperti yang dialami sekarang ini. Mereka dapat bekerjasama untuk mengontrol mekanisme pasar yang fair, dengan menolak KUD dan kelompok tani boneka pemerintah. Gempuran yang dahsyat dari negara dan kapitalis menjadi alasan utama hancurnya modal sosial mereka berantakan. Dengan hancurnya modal sosial, maka semakin tidak berdaya mereka dalam memberdayakan ekonomi dan mewujudkan suatu komunitas yang humanistik sebagaimana Putnam idamkan.

Secercah harapan masih dapat diharapkan untuk menguatkan modal sosial di pedesaan. Kisah Mbok Kromo dan kampungnya memberikan pertanda bahwa masih ada modal sosial yang dapat difungsikan. Komunitas selau berusaha menghidupkan modal sosial guna mewujudkan suatu kerjasama yang baik antar warganya. Sejumlah LSM, seperti Mitra Tani juga telah berhasil mendorong tumbuhnya modal sosial di desa. Para petani tembakau di Klaten dapat bersatu dan bekerjasama mengontrol kebijakan pemerintah dalam mengatur penanaman tembakau. LSM mitra Oxfarm juga dapat mendorong bekerjanya modal sosial di kalangan petani kopi di NTT untuk mengontrol harga kopi sehingga terwujud harga kopi yang sehat sesuai dengan mekanisme pasar.

Memulihkan terwujudnya modal sosial yang handal di pedesaan merupakan pilihan yang sangat strategis di era reforomasi. Pekerjaan ini tidak gampang walaupun reformasi telah memberikan angin segar bagi para praktisi, terutama NGO untuk bekerja dengan lebih leluasa. Pertama-tama, diferensiasi sosial, urbanisasi dan globalisasi dapat menjadi hambatan bagi terbentuknya modal sosial yang handal sehingga berfungsi memberdayakan mayoritas penduduk miskin di pedesaan. Kedua, modal sosial di pedesaan akan bersifat pluralistik dari kelompok-kelompok warga yang berbeda-beda lingkungan sosial, ekonomi dan politiknya. Kemungkinan akan terjadi bahwa penguatan modal sosial pada kelompok warga yang satu akan berbenturan dengan kepentingan dari kelompok warga yang lain. Oleh karena itu, tidak mungkin kembali pada nostalgia bahwa komunitas warga desa menyatu dalam satu kekuatan modal sosial. Mereka bekerja sendiri-sendiri dengan modal sosialnya. Tugas ke depan dapat bersifat ganda. Pertama, menjalin harmoni antar kelompok dan menyatukan kekuatan berhadapan dengan kelompok dari luar. Kedua, berpihak kepada kelompok yang paling lemah posisinya dalam relasi sosial di pedesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar