Minggu, 22 November 2009

Ekonomi Kerakyatan dan Pembaharuan Desa


oleh:
Bambang Hudayana

I
Selasa 23 Mei 2005 kiranya merupakan hari berkabung bagi mayoritas pelaku ekonomi di tanah air yang umumnya terdiri atas petani gurem, buruh tani, pengrajin dan pedagang kecil. Pada hari itu, Prof Mubyarto yang menjadi pejuang nasib mereka menghebuskan nafasnya yang terakhir. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mempromosikan ekonomi Pancasila sebagai kata lain dari ekonomi kerakyatan.

Bagi kaum yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, maka perjuangan Prof Mubyarto itu amat mulia meskipun akan menuai kesepian karena melawan arus jaman. Ia mengkawatirkan begitu dominannya mazab neoliberalisme yang yang secara nyata telah menjadi instrumen bagi kaum kapitalis untuk memperluas ekspansinya ke semua sektor ekonomi. Kekwatiran itu terbukti dan membuat ekonomi kerakyatan yang dalam menjadi sumber nafkah sebagian besar penduduk di Indonesia justru melayani ekspansi kapitalis. Ironisnya kerja melayani ekspansi kapitalis itu hanya membuahkan nafkah hidup semakin pas-pasan dan sekedar sebagai alat untuk bisa survive. Lihat misalnya pedagang asongan yang berjualan dengan ancaman dan mereka ini menjajakan produk industri tanpa jaminan asuransi kecelakaan; para penjaja warung tegal yang melayani eksekutif muda berdasi di gedung bertingkat,tanpa dukungan kredit usaha, petani tembakau yang tunduk dengan harga yang dikendalikan pengusaha rokok yang memberikan kontribusi bagi pendapatan negara yang besar dari cukainya. Adapun yang paling menyolok adalah ketergantungan petani terhadap input prioduksi dari pasar, dan tanpa akses untuk mengontrol harga hasil buminya.

Dalam bukunya yang berjudul “Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan “ (1985), Prof Mubyarto mengikuti pikiran Geertz, bahwa orang Indonesia menjadi miskin bukan karena mempertahankan ekonomi tradisional (baca ekonomi kerakyatan) di tengah merebaknya ekonomi kapitalis asing yang digerakkan pemerintah jajahan Belanda melalui politik perkebunan. Apa yang terjadi adalah kapitalis yang melahirkan kemiskinan itu dengan mengembangkan perkebunan di tanah petani dengan harga sewa yang rendah, dan upah yang murah. Akibatnya ekonomi kerakyatan yang mereka bangun adalah untuk menyambung hidup di tengah ekspansi kapitalis yang menggerogoti kekayaan mereka itu.

II
Ketika memasuki era Orde Baru, ekspansi kapitalis berlanjut dan bersifat sangat masif. Trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas yang dinamis menjadi doktrin yang membuka akses kapitalis asing untuk menanamkan modal di seluruh sektor ekonomi. Industrialisasi di sektor manufaktur, perkebunan, pertanian, kehutanan, dan perkebunan pun berkembang dan pertumbuhan ekonomi bergerak naik. Akan tetapi itu kapitalisasi ekonomi itu mengorbankan penduduk desa menjadi suplayer tenaga kerja murah dan menghasilkan produksi pertanian yang diberi nilai tukar rendah dibandingkan dengan produk industri. Akibatnya akumulasi kapital pun mengalir ke kapitalis asing dan kesenjangan ekonomi semakin melebar antar sektor perkotaan dengan pedesaan, sektor formal dengan informal, sektor kapitalis dengan prakapitalis.

Dengan mencermati trend globalisasi, Prof. Mubyarto mempertegas analisisnya bahwa pasar bebas akan mempercepat proses perindahan kapital masyarakat ke tangan kapitalis asing. Pandangannya tidak keluru ketika menyaksikan bahwa kapitalis global tidak hanya mengurangi peran negara dalam pengelolaan ekonomi tetapi juga mengurangi peran masyarakatnya juga. Privatisasi BUMN yang mengelola pelayanan publik menjadi contoh nyata bahwa negara menjadi pelayan setia kapitalis global yang konon menjajikan barang dan jasa murah tetapi secara nyata tetap dapat meraih untung yang besar karena merekalah yang kemudian mengontrol bekerjanya sistem produksi. Bahkan kapitalis global itu juga mengontrol bekerjanya konsumsi dengan menciptakan masyarakat yang konsumtif.

Menjelang akhir hayatnya, Prof Mubyarto memformulasikan kembali tentang ekonomi kerakyatan yang intinya sebagai berikut. Pertama: roda kegiatan ekonomi bangsa digerakan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Kedua: munculnya kekuatan dari masyarakat untuk mendorong terwujudnya keadilan sosial. Ketiga: terwujudnya perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri. Keempat terbangunnya perilaku ekonomi yang mengemban demokrasi ekonomi yang berprinsip pada kepentingan rakyat, kekeluargaan, koperasi dann usaha kooperatif. dan Kelima: keseimbangan yang dinamis, efisien dan adil antar pusat dengan daerah melalui desentralisasi ekonomi dan otonomi.

Gagasan Prof Mubyarto itu meletakan negara sebagai pemain penting dalam pengelolaan ekonomi. Konsitusi harus secara tegas mengamanatkan Indonesia sebagai welfare state, sehingga pasal 33 UU 1945 harus dipertahankan. Desentralisasi dan otonomi juga harus diwujudkan agar terjadi proses redistribusi ekonomi, keadilan dan pemerataan. Ia juga mengamanatkan bahwa eokonomi kerakyatan merupakan gerakan ekonomi yang tumbuh dari masyarakat.

Empat tahun belakangan ini Prof Mubyarto juga menaruh perhatian terhadap program pembaharuan desa di era reformasi dan khususnya otonomi desa. Sayangnya ia belum memberikan sebuah rumusan tentang arah dari otonomi desa dalam kerangka penguatan ekonomi kerakyatan. Dalam benak saya, otonomi desa akan lebih bermakna bila justru mendorong terwujudnya gerakan ekonomi kerakyatan. Tanpa mengambil pilihan ini maka pembaharuan desa yang salah satu agendanya mempromosikan otonomi desa (OTDES) akan kehilangan maknanya. Ada beberapa alasan yang susah diabaikan. Pertama: Pemerintahan desa merupakan lembaga paling dekat dengan kehidupan sehari-hari orang desa yang kebanyakan menghadapi masalah keterpurukan ekonominya, sehingga seharusnya lebih sensitif terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi warganya. Kedua: pemerintahan desa pada masa lalu justeru menjadi institusi lokal yang bekerja untuk mengelola ekonomi dalam kerangka terjuwudnya masyarakat sejahtera (welfare society). Tanah kas desa dan kekayaan lainnya, misalnya bukan hanya untuk mendanai anggaran Desa, tetapi juga menjadi sumber penghasilan warganya. Ketiga: Desa dapat menjadi filter masuknya eksploitasi kapitalis yang dapat berdampak bagi merosotnya ketahanan ekonomi desa. Keempat: desentralisasi di tingkat Desa tidak akan menjawab kemiskinan dan kerapuhan ekonomi desa bila tidak dialokasikan sebesar-besarnya untuk program ekonomi.

III
Masalahnya klasik untuk memperomosikan pembaharuan desa guna mengembangkan ekonomi kerakyatan adalah burunya dukungan regulasi. Bahkan UU 32/2004 yang mengatur tentang desa sepertinya tidak memberikan otonomi yang luas kepada Desa. Dengan UU ini desa tetap sebagai pemerintahan darurat yang bergantung pada kebaikan pemda. Terlepas dari ada tidaknya regulasi, prakarsa mewujudkan ekonomi kerakyatan menjadi bagian yang terpenting dari pembaharuan desa. Apabila ekonomi kerakyatan tidak menjadi visi dan misinya, maka pemerintahan desa akan menjadi beban ekonomi bagi warganya. Perannya lebih menampilkan diri sebagai regulator yang mengatur segala mancam perjinan dan mengkomersialkan perijinan itu untuk menjadi sumber pendapatan. Celakanya Desa akan sangat responsif dengan berbagai bentuk investasi dari luar ke wilayahnya karena kelinmpahan rezeki sebagai broker dalam memfasilitasi proses masuknya investasi seperti mencarikan tanah dan menggali dukungan komunitas. Desa juga akan memerankan diri sebagai kumpulan dari para elite yang memperkukuh previllage dan status sosialnya dihadapan massa orang desa.

Meletakan ekonomi kerakyatan sebagai pekerjaan Desa berarti berbagi peran dengan pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan pengembangan ekonomi. Desa mempunyai peran menggerakkan ekonomi kerakyatan di level lokal seperti mendorong penguatan modal social, jaminan sosial, arisan, kredit mikro, peralatan produksi pertanian, koperasi, pasar desa, dan berbagai inisiatif yang membuat masyarakat mempunyai akses berusaha dan bekerja.

Masalahnya muncul lagi yaitu desa tidak memiliki keberanian untuk melakukan rasionalisasi atas visi, misi, kebijakan dan program ekonomi kerakyatan. Desa selalu bralasan kekurangan dana. Pengamatan sementara mencatat bahwa dengan APBDes yang amat kecil sekitar Rp. 25 - 100 juta, tetapi dengan penduduk sekitar 5.000 jiwa saja terbagi ke dalam lima dusun atau kampung, maka jika programnya banyak, pos untuk pemberdayaan ekonomi kalau diadakan jumlahnya pasti kecil. Anggaran akan banyak dihabiskan untuk gaji dan kegiatan rutin baru kemudian untuk pembangunan fisik.

Kecilnya dana desa seharunya tidak menjadi penghalang untuk menggerakan ekonomi kerakyatan. Desa tidak perlu menghabiskan anggaran untuk pembangian fisik, tetapi harus berani mengalokasikan untuk mendukung kekuatan ekonomi warganya. Oleh karena itu desa harus melakukan rasionalisasi program dan anggaran. Barangkali rasionalisasi yang dilakukan adalah mengurangi peran mengelola pelayanan sosial yang tidak perlu. Desa juga tidak perlu banyak mengurusi masalah kemasyarakatan, tradisi dan kegiatan keagamaan karena masalah ini dapat diserahkan kepada masyarakat sendiri. Desa berkonsentrasi pada pengembangan sumber nafkah hidup warganya. Ia berperan sebagai agen informasi pekerjaan, dan menyediakan budget tahunan untuk mendorong penguatan modal sosial, ketrampilan, managemen dan kegiatan ekonomi masyarakatnya. Lewat peran itulah desa dapat menarik dana dari masyarakat dan menjalankan peran sebagai redistributor atas kekayaan desa untuk memajukan kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Dengan peran seperti itu, prestasi desa terletak pada kemampuan mengelola anggaran dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan prakrasa lokal dalam mengembangkan kemandirian ekonomi. Apaila gagasan itu terwujud maka konsep ekonomi kerakyatan pun membumi, masyarakat dengan pemerintahannya bergayung membangun kemandirian ekonomi.

Bila pembaharuan desa mengambil pilihan utama pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan itu , maka konsekuensi pemerintahan desa pun harus dirombak. Ia bukan lagi tampil sebagai regulator tetapi menjadi lebih banyak berperan sebagi fasilitator masyarakatnya. Pemerintahan desa bukan lagi penjadi kepanjangan tangan negara dan para penguasa di aras lokal, tetapi insititusi ekonomi masyarakatnya. Revisi atas tulisan pada BULETIN MUDIK, 20005

Bukan Sekedar Romantisme: Bangkitnya Nagari Sungai Kamuyang di Tanah Minang


Oleh: Bambang Hudayana


Kesan Pertama yang Menggoda

Bulan Sepetember 2004 merupakan awal dari perkenalanku yang sangat berkesan dengan para anak nagari di tanah Minang. Selama satu minggu saya tinggal di kabupaten Limapuluh Kota untuk mempelajari Kebijakan Dana Alokasi Untuk Nagari (DAUN). Hari pertama tinggal di kabupaten penghasil gambir ini saya langsung terkesan oleh indahnya panorama alamnya. Kabupaten ini tidak kalah dengan Bukti Tinggi yang kaya dengan panorama perbukitan dan gunung-gunung yang berjenjang mengitarinya. Limapuluh Kota lebih dari itu karena menampilkan lembah dengan sawah yang subur dengan dikitari oleh bukit yang memancarkan air terjun dengan suasana yang lebih alami tanpa hilir mudik wisatawan dan desingan deru kendaraan yang memadati jalan raya.

Di Limapuluh Kota itu saya sepertinya membaca kembali etnografi klasik tentang kehidupan orang Minang. Memang masih kentara sekali keaslian komunitas Minang dapat dirasakan. Identitas Minang belum luntur dan bahkan terpelihara. Di dalam kota Payakumbuh banyak dijumpai rumah gadang yang melambangkan kuatnya tradisi matrilineal dan ekologi persawahan sebagai basis ekonomi. Memasuki wilayah pedesaan, rumah-rumah gadang pun tetap terpelihara dengan baik dan surau-surau tetap menjadi pusat dari kehidupan keagamaan dan berkembangnya kepribadian anak-anak nagari.

Selama satu minggu tinggal di sana, saya juga menangkap kekhasan orang Minang yang hidup bersendikan pada budaya matrilineal dan agama yang kuat. Keduanya dipadukan dalam pepatah “Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah“. Pepatah ini mengamanatkan bahwa hidup orang Minang berpegang tegung pada kaidah-kaidah hukum adat yang menjunjung tinggi semangat keagamaan Islami“.

Kesan lain yang dialami bagi orang luar di tanah Minang adalah kemahiran pada diri kebanyakan anak nagari di dalam bercaka-cakap. Untian syair dan pepatah senantiasa dilantunkan ketika menggagas suatu masalah dan tidak ada kesulitan bagi mereka untuk berorasi. Akhirnya kesan lain yang memang relevan untuk kami kaji adalah kuatnya semangat orang Minang itu untuk menghidupkan kembali nagarinya. Saya lalu bertanya-tanya apa hebatnya nagari itu sehingga mereka tidak menyebut lagi dirinya sebagai orang Minang melainkan anak nagari.


Menghidupkan Kembali Nagari


Jawaban atas pertanyaan itu barangkali dapat diruntut dari kisah masa lalu ketika belum diberlakukannya UU No 5 tahun 1979. Nagari merupakan sebuah republik kecil yang mencerminkan terintegrasinya antara struktur dan solidaritas sosial masyarakat Minang dengan pengelolaan pemerintahan nagari. Dalam konsep klasik di Limapuluh Kota, pemerintahan nagari dipegang oleh penguhulu (pengarah), wali nagari (manti), cerdik pandai (dhubalang) dan ninik mamak (datuk). Mereka mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam mengelola pemerintahan, tetapi hubungan antar institusi pemerintahan itu tidak bersifat hirarkis. Para penghulu adalah mereka yang mempunyai otoritas kebenaran atas hukum dan perundang-undangan, dan para dhubalang adalah para alim ulama yang menjadi guru anak nagari yang ikut terlibat dalam setiap pengambilan keputusan, dan para datuk adalah mereka yang mewakili kepentingan para kemenankan (anak nagari) sedangkan manti menjalankan peran eksekutif yang dilaksanakan sesuai dengan hasil musyawarah para pemegang tata pemerintahan nagari tersebut.


Nagari di tanah Minang itu bersifat otonom dan telah hidup sejak abad ke 2 sehingga telah berurat dan berakar dalam kehidupan orang Minang. Nagari berfungsi semacam self governing community yang bervisi pada terwujudnya masyarakat sejahtera (walfare society) dan mengemban terpeliharanya adat-istiadat dan kehidupan masyarakat yang agamis. Akan tetapi, di bawah rezim Orde Baru yang otoritarian, UU N0 5 /1979 dipaksakan di tanah Minang sehingga menghapus fungsi nagari sebagai pemerintahan lokal. Era berlakunya UU pemerintahan desa itu merupakan masa berkabung bagi anak nagari dan hancurlah solidaritas anak nagari membangun komunitasnya. Oleh karena itu, dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999, maka segera muncul Perda Propinsi No. 9 tahun 2000 yang mengamanatkan kembali ke pemerintahan nagari.

Di Limapuluh Kota, kelahiran Perda Propinsi itu juga mendapat respons yang positif dari anak nagari. Wacana menghidupkan kembali nagari menjadi agenda politik sehingga lahirlah Perda No 1 tahun 2001 yang berisi tentang pemerintahan nagari. Perda ini memperkuat pemerintahan nagari sesuai dengan prinsip UU No 22 tahun 1999 dan Perda No 9 tahun 2000 itu yang mengamanatkan pemerintahan nagari dikelola oleh wali nagari yang menjalankan fungsi eksekutif, dan Badan Perwakilan Anak nagari (BPAN) yang menjalankan fungsi legislatif. Sesuai dengan konteks pemerintahan nagari klasik, kemudian dibentuk Lembaga Anak nagari (LAN) yang menjalankan fungsi yudikatif dengan tugas mengenai sengketa harta pusaka, Dimantapkan pula Lembaga Syarak Nagari (LSA) yang berfungsi sebagai wadah kebersamaan memajukan adat dan agama, dengan diisi oleh wakil dari kaum ulama dan adat, serta Badan Musyawarah Adat dan Agama (BMAS) yang berfungsi sebagai dewan konsultasi bagi pemerintah nagari, yang anggotanya adalah wakil dari suku dan ninik mamak yang ada.


Sungai Kamuyang sebagai Model Pengembangan Nagari

Pengembangan nagari di Limapuluh Kota diawali dengan mempromosikan Sungai Kamuyang sebagai pilot projek. Pilihan ini diambil karena kuatnya semangat tokoh setempat untuk menghidupkan kembali nagari. Tidak kalah penting para anak nagari seperti H. Luzon Lanjumin yang sekarang duduk sebagai wali nagari merupakan contoh anak nagari yang siap mengabdikan diri meskipun telah kenyang mengabdi di pemerintahan. Ia kini juga merangkap sebagai Ketua Asosiasi Wali nagari di mana beliaulah yang yang mendorong para wali negari bersatu mendekatkan nagari dengan kebijakan pemerintah kabupaten.

Dalam perkembangannya Sungai Kamuyang memang bisa menjadi contoh yang ideal pemerintahan nagari di Kabupaten Limapuluh Kota. Jika tidak, maka tidak mungkin nagari ini menjadi ajang studi banding para wali nagari dan BPAN di seluruh wilayah kabupaten ini, bahkan kabupaten lainnya di tanah Minang. Pada tahun 2001 Sungai Kamuyang berhasil mewujudkan penataan pemerintahan sesuai dengan amanat Perda, penguatan capacity building pengelola nagari, dan bahkan bisa menerapkan APBDES partisipatif yang didukung oleh DAUN yang diberikan oleh pemerintah kabupaten dalam rangka penguatkan fungsi pemerintahan nagari di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Tiga kisah Keberhasilan Sungai Kamuyang

Pernag yang partisipatif

Membaca Pernag (peraturan Nagari) Sungai Kamuyang akan mendapatkan kesan bahwa wali nagari dan stafnya sangat kompeten di dalam merumuskan Pernag ke dalam bahasa hukum. Semua Pernag selalu diperhatikan dengan seksama, dan pasal-pasal dalam pernak disusun secara sistematis dan diketik rapi dengan memakai komputer, dan yang lebih penting adalah isinya dapat diimplementasikan menjadi keputusan wali nagari secara konkrit.

Tahun 2003 Sungai Kemuyang menghasilkan banyak Pernag yang partisipatif. Pernag itu antra lain mengenai (1) Pemanfaatan tanah ulayat, (2) Pengelolaan tempat pemandian Batang Tabit, (3) Pemeliharaan jalan dalam Nagari, (4), Wajib Khatam Al Quran bagi Murid/Anak Usia SLTP, (5) Tata cara pelaksanaan nikah dan baralek kawin, (6) PAS dari penjualan ternak, (7) Penyakit masyarakat (PEKAT), dan (8) Penyelesaian sengketa perkara.

Penyusunan Pernag selalu diawali dan diakhiri dengan konsultasi publik sehingga di samping mempunyai legitimasi yang tinggi juga menjagi dproduk hukum yang bisa menyelesaikan berbagain persoalan yang muncul dalam masyarakat. Pernag di Sungai Kamuyang ini bukan copy dari pernag-pernag dari nagari lain karena disusun melalui konsultasi publik yang dapat mempengaruhi isinya. Konsultasi publik dapat dilakukan melalui dua jalur. Pertama, melalui mekanisme kelembagaan yang paling fungsional, yaitu dibawa ke dalam lembaga BMAS yang mewakili kepentingan-kepentingan anak nagari. Kedua, dibawa melalui wali jorong yang menjadi elemen penting dalam pemerintah nagari di aras paling lokal. Para wali jorong menggali aspirasi masyarakat dan kemudian dibawa ke wali nagari atau disampaikan kepada para wakil yang duduk dalam BMAS.

APBNagari

Sesuai dengan amanat Perda, ABPnagari Sungai Kamuyang disusun melalui proses yang partisipatif dan anggaran dialokasikan sesuai dengan misi yang mengedepankan pembangunan dan pemberdayaan. Sejak tahun 2001 sampai 2004, APBN Sungai Kamuyang juga mengalami peningkatan. Pertama: DAUN yang diberikan kabupaten meningkat meskipun relatif kecil naiknya. kedua: meningkatnya pendapatan asli nagari (PAN) terutama dari hasil kekayaan nagari, pajak dan retribusi dan sebagian kecil swadaya masyarakat. Pendapatan dari kekayaan nagari, disusul dari pajak dan retribusi nagari menempati posisi penting dalam APBN karena kemahiran penyelenggara pemerintahan menggali dana melalui penguatan sektor-sektor ekonomi yang diberdayakan di wilayahnya. Kebijakan itu membuat partisipasi masyarakat dalam bentuk swadaya tidak penting. Dalam konsepsi para penyelenggara pemerintahan, jika nagari bisa mendapatkan sumber pendapatan lain dan relatif mampu mendanai pembangunan maka tidak seharusnya menerapkan gotongroyong sebagai sumber pendapatan.

Dalam menyusun APBNagari, wali nagari biasanya menggali aspirasi di tingkat jorong yang dilakukan oleh para jorong, dann aspirasi dari para tokoh yang diduduk dalam BPAN dan BMAS. Aspirasi mereka itu kemudian dirumuskan menjadi rencana program kegiatan yang nantinya dituangkan dalam RAPBNagari.

Kerja keras para penyelenggara nagari untuk meningkatkan pos pemasukan dari kekayaan nagri mebuahkan tampilan APBNagari yang khas. Dengan mencermati ABPNagari 2004 cerita itu semakin jelas. Anggaran Pendapatan 2004 berjumlah Rp. 303.301.894,-, terdiri atas (1) bantuan kabupaten dalam bentuk DAUN Rp. 134.960.136 (44,50 %), (2) sisa perhitungan tahun lalu Rp. 49.055.876, (16.17 %) dan (3) Pendapatan Asli Nagari (PAN) sebesar Rp. 119.285.882 (34,50 %). PAN ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang besarnya adalah sekitar 20-30 %. Sumber PAN terdiri dari tiga macam (1) kekayaan nagari sekitar 86.000.000 (72.10 %) (2) pajak dan retribusi 22.685.882, (19,01 %) dan (3) swadaya masyarakat Rp. 10.600.000. (8,89 %). Sungai Kamuyang memang sangat potensial untuk memperoleh pendapatan yang besar dari kekayaan nagari, karena mempunyai kolam pemandian dan mata air untuk PDAM.

Dari segi pengeluaran, nampak bahwa Sungai Kamuyang telah melaju pada program peningkatan pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat. Dari dana pemasukan di atas, pengeluarannya diposkan pada (1) Belanja rutin 130.120.894 (42,90 %) pembangunan 173.181.000 (57,10 %). Dana pembangunan ini dialokasikan untuk (1) pembangunan SDM seperti beasiswa anak miskin, PKK, pekan orientasi SD bantuan makanan anak balita, dan remaja mesjid Rp. 22.260.000 (12.85 %); Program umum pembangunan sumberdaya ekonomi lemah Rp. 6.000.000 (3,46 %); program pembangunan sarana sosial seperti untuk honor guru TPA, dan guru MDA, kesenian tradisional, olahraga, dan sarana MCK Rp. 59.650.000 (34.44 %), program pembangunan infrastruktur seperti jembatan, jalan, irigasi dll, Rp. 80.000.000 (46.19 %); dan program umum sumberdaya produksi seperti pemberantasan tikus Rp.1.500.000 (0.86 %). dan biaya umum pembangunan Rp. 3.771.000 (2.17 %).

Melihat alokasi belanja jelas bahwa Sungai Kamuyang sangat fantasitik. Benlanja dipakai sebesar-besarnya untuk merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan khususnya memperhatikan kelompok masyarakat lemah. Itulah sebabnya maka kembali ke nagari menjadi sebuah impian yang realistis karena mewujudkan pemerintahan yang dekat dengan semangat solidaritas komunitas anak nagari.

Mencegah Penyakit Masyarakat

Sungai Kamuyang merupakan salah satu nagari yang terbukti dapat membangun komunitas yang mandari di dalam mengatasi berbagai masalah yang mengancam kekuatan modal sosialnya. Penyakit masyarakat bukan hanya akan mengancam religiositas dan nilai-nilai budaya, tetapi juga modal sosial dalam bentuk solidaritas komunitas. Oleh karena itu sejak dini Nagari Kamuyang meningkatkan agenda melawan penyakit masyarakat itu dengan mengeluarkan Pernag tentang PEKAT. Penyakit masyarakat dalam Pernag ini meliputi: perjudian, Miras, narkoba, Pornografi, pelacuran, penganiayaan, Togel, Toto gelap dan pelanggaran susila. Adalah menarik bahwa dalam Pernag PEKAT itu ditegaskan pengertian masing-masing penyakit masyarakat dan tindakan hukum yang diberlakukan seperti sangsi sosial ,denda dan tindakan hukum di pengadilan negeri


Belajar dari Sungai Kamuyang

Pelajaran yang berharga dari Sungai Kamuyang sepertinya tidak akan terlupakan. Sungai Kamuyang bangkit menjadi pemerintahan lokal yang mandiri berkat ikatan komunitarian yang kuat antara elite dengan masyarakakatnya. Bahkan elite di Kabupaten pun mempunyai sikap empatik dan komunitarian seperti itu, Oleh karena itu Kabupaten mengeluarkan kebijakan DAUN guna meningkatkan anggaran nagari di dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Masalahnya adalah masih banyak desa di Indonesia yang belum menikmati ADD (Alokasi Dana Desa) yang intinya sama seperti DAUN tersebut. Masalah itu diperparah lagi oleh munculnya UU No 32/2004 yang menggantikan UU No 22/1999 yang meniadakan otonomi desa sehingga semangat desa untuk mewujudkan komunitas yang mandiri semakin terancam. Semoga Sungai Kamuyang tidak terhempas oleh munculnya UU No 32 tahun 2004 ini. Sampai jumpa. TULISAN INI PERNAH DIPUBLIKASIKAN DALAM BULETIN MUDIK 2004

Dinamika Komunitas Kecil di Indonesia

Oleh: Bambang Hudayana

Pendahuluan
Gelora reformasi 1998, ditandai oleh tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru, telah mempengaruhi pola hubungan antara negara dan masyarakat sipil sebagaimana terlihat pada perubahan sosial di tingkat organisasi kemasyarakatan. Pada waktu itu, negara menuntut organisasi masyarakat sipil bersifat korporatis Dalam praktiknya, hal itu dilakukan dengan cara mengebiri, mengontrol, dan membuat organisasi masyarakat tergantung dari kebaikan pemerintah. Kini, negara dituntut untuk bertindak sebagai fasilitator, sedangkan dinamika organisasi masyarakat sipil menjadi lebih independen, dan karenanya organisasi masyarakat sipil dituntut untuk mandiri.

Masalahnya adalah bagaimana bentuk kemandirian organisasi masyarakat sipil sekarang, dan bagaimanakah mereka melepaskan diri dari belenggu korporatisme tersebut? Tulisan ini melihat bahwa banyak organisasi masyarakat sipil mempunyai potensi untuk mandiri dan bahkan ikut mendorong tumbuhnya pembangunan sosial di aras komunitas. Masalahnya adalah mereka ini masih sangat rentan untuk dikontrol oleh elite-elite lokal dan politik yang menguasai pangggung kekuasaan. Dengan mengamati perkumpulan RT (Rukun Tetangga), maka kecenderungan tersebut mudah diamati dan dijelaskan.

RT merupakan sebuah perkumpulan berbasis pada ikatan teritorial. Lembaga ini dibentuk oleh pemerintah Orde Baru pada awal tahun 1980-an untuk mengendalikan komunitas dengan berfungsi sebagai bagian dari rantai birokrasi ke komunitas (Agustin, 2001). Saya mencatat bahwa RT-nisasi sesungguhnya sinergis dengan pengelompokan masyarakat secara alami ke dalam jaringan sosial ketetanggaan. RT-nisasi ini telah melembaga dalam masyarakat Jawa dan pernah dimantapkan oleh pemerintah pendudukan Jepang (Sullivan, 1992). Oleh karena itu, walaupun RT menjadi kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintahan desa untuk mengatur masyarakatnya, RT tidak kehilangan fungsinya sebagai organisasi yang komunitarian, yakni bekerja untuk mewujudkan solidaritas, kehangatan, dan kemajuan lingkungan sosialnya.

Dengan adanya institusi RT, dusun sebagai komunitas kecil terpilah dalam satuan-satuan RT, yang kemudian satuan ini disatukan ke dalam lingkup RW (Rukun Tetangga), dan baru kemudian antar-RW disatukan dalam lingkup dusun. Dalam satu dusun biasanya penduduknya sekitar 500- 600 jiwa, terdiri atas sekitar 120-200 KK, dan teridri atas 2-6 RT, dan masing-masing memiliki anggota sekitar 30-60 KK.

Reposisi Komunitas Korporatif
Pada era reformasi, muncul gagasan untuk menghapus perkumpulan RT. Pemerintah Kabupaten Bantul, misalnya, mengetengahkan wacana perlu tidaknya untuk membubarkannya, dan salah satu LSM di Yogyakarta ikut memprakarsai pembubaran tersebut. Dalam debat publik di TVRI Yogyakarta tentang RT/RW muncul tuntutan penghapusan RT karena institusi ini menjadi arena bercokolnya pemerintah di dalam komunitas (Santoso, 2002:8). Memang pada masa dahulu, sebagai bagian dari birokrasi pemerintah desa, RT/RW diberi peran yang kuat dan berfungsi sebagai ajang sosialisasi pemerintah desa dalam memasyarakatkan program pembangunan (Agustin, 2001; Sullivan 1986). Akan tetapi, dalam debat publik di tingkat propinsi kelompok yang tidak setuju dilakukan pembubaran sangat kuat argumentasinya. RT tidak dilihat sebagai lembaga state corporatism lagi, melainkan organisasi komunitas yang berhasil mewujudkan fungsinya untuk menciptakan sebuah masyarakat kecil yang dilandasi oleh semangat kekeluargaan (guyup rukun) dan dikelola secara demokratis serta partisipatif.

Kelompok yang tidak setuju atas pembubaran RT itu sejalan dengan temuan saya bahwa betapa pentingnya perkumpulan komunitas itu karena menjadi modal sosial yang cukup handal bagi warga untuk membangun komunitasnya . Saya merasa tidak begitu berkepentingan untuk mengkiritisi kehadiran pemerintah dalam komunitas itu karena tidak memandulkan perkumpulan itu untuk secara kreatif mewujudkan solidaritas sosial antarwarga. Forum RT telah menjadi organisasi yang mengelola komunitasnya (self governing community). Banyak urusan publik di RT dpecahkan bersama, dan menuntut partisipasi warganya untuk menyumbangkan pikiran, tenaga, dan dana. Untuk mengakrabkan anggota, RT mengadakan pertemuan anjangsana secara bergiliran antar anggota atau di rumah warga yang luas. RT juga membuat dana simpan pinjam dan menyediakan pelayanan sosial sendiri seperti menyediakan peralatan pesta untuk warganya, dan dana pembangunan (Mawarni, 2000:18-19). Anggaran RT relatif kecil, tetapi dikembangkan secara partisipatif dan kerjasama yang kompak sehingga menjadi lembaga yang disegani oleh orang desa.

Dewasa ini, RT semakin berperan di dalam memfasilitasi hubungan antara warga dengan dunia luar. RT menjadi tameng bagi warga untuk menghindari praktik pungutan liar. Bila muncul tamu meminta bantuan sosial ke rumah-rumah, warga dapat menolaknya dengan memasang stiker atas nama RT, misalnya “pengamen dilarang masuk”; “pemulung dilarang masuk”; “permintaan sumbangan melalui RT”, dan sebagainya. Dengan cara itu maka tamu akan kesulitan memeras warga dan warga dapat menolak secara halus karena setiap masalah yang dihadapinya akan dipecahkan oleh forumnya.

Di desa IRE bekerja, setiap 30-an Kepala Keluarga dibentuk satu RT dan sebanyak 2-4 RT dapat dibentuk satu RW, dan dalam satu dusun bisa dibentuk 1-4 RW. RT sepertinya tidak mungkin dibubarkan bahkan organisasi ini telah mendarahdaging dalam kehidupan bertetangga. RT juga sebagai ajang untuk memobilisasi sumberdaya warga untuk mendukung bekerjanya birokrasi dan pemerintah desa. Sebagai contoh, warga RT di Wukirsari dapat memperoleh bantuan kemanusiaan seperti dana opname sekitar Rp. 15.000, dan kematian Rp. 20.000. RT-RT sedusun dapat bekerjasama, satu RT menyediakan peralatan pesta, dan RT-RT lainnya membeli peralatan memasak, pengeras suara, dan dekorasi. Dana berasal dari iuran warga dan fundraising. Dalam bulan April 2000, sebuah RT memperoleh pemasukan dari sembilan jenis (jimpitan uang, beras, ronda, sewa fasilitas RT, jasa arisan, penjualan pisang, administasi, dan jasa pinjaman sebanyak Rp.187.500; Dana itu untuk menguatkan organisasi dan pembangunan fisik sebesar Rp. 75.900,- dan sisanya menjadi kekayaan RT yang dapat dipakai untuk berbagai kebutuhan bersama (lihat juga Mawarni, 2000:18-19).

Ketegangan-ketegangan antara desa dengan warga mudah diketahui melalui forum RT. Hubungan yang personal, ketetanggaan dan kepercayaan yang tinggi menyebabkan keluhan warga terhadap desa disalurkan lewat forum RT daripada forum yang lain.

Politisasi Komunitas
RT memang tidak perlu dibubarkan karena telah menjadi institusi yang kredibel dalam masyarakat dan mampu mewujudkan sebuah komunitas humanistik. Akan tetapi, warga RT perlu belajar lebih waspada terhadap elite lokal dan politisi yang sering menggunakan forumnya untuk ajang memperluas cekereramannya. Peringatan itu diangkat dari pengalaman saya mempelajari respons RT dalam Pemilu 2004.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu faktor yang menentukan kemenangan partai politik dalam setiap kali Pemilu adalah dimilikinya mesin politik yang berada di aras lokal. Mesin politik itu adalah para elite lokal dan kader partai serta pamong yang berakar dalam masyarakat dan menguasai kepemimpinan dalam pemerintahan desa serta sumberdaya ekonomi yang strategis di komunitasnya (Hudayana, 2004). Golkar telah menanamkan mesin politik itu jauh sebelum memasuki era reformasi, dan hingga kini masih banyak elite lokal itu yang terus setia dengan partai ini. Oleh karena itu, kemenangan pun diraihnya dengan cara menggunakan forum RT untuk ajang sosialisasi dan memobilisasi pemilih.

Pada masa pemilu 2004, partai-partai politik kemudian berebut untuk masuk ke dalam insitusi RT. Di daerah penelitian saya, misalnya, para ketua dan pengurus RT didorong untuk menjadi simpatisan partai-partai politik dan didorong untuk mensosialisasikan calon anggota legislatif (caleg) dan partai politiknya. Jika dulu mayoritas para pengurus partai politik adalah orang Golkar, kini dengan kepiawiannya pengurus partai politik lain seperti PAN dan PDIP mengkader warga untuk menjadi simpatisannya dan menggunakan solidaritas komunitas untuk menggalang dukungan massa. Warga RT kemudian terbelah solidaritas sosialnya dan menghadapi ketegangan sosial di lingkungannya sendiri. Pada pemilu 2004, misalnya, para pengurus RT di sebuah dusun di Sleman terdiri dari simpatisan Golkar, PAN, dan PDIP sehingga mereka bersaing memanfaatkan forum RT untuk ajang sosialisasi caleg dan partai politiknya. Persaingan mereka begitu ketat dan menyebabkan politisiasi forum RT dilaksanakan secara terselubung (Hudayana, 2004:7).

Di tengah kemiskinan dan rendahnya kesadaran berpolitik, warga dibuai untuk memanfaatkan dana politik uang yang disalurkan oleh para pengurus partai melalui kadernya di forum RT itu. Politik uang pun diterima warga sebagai salah satu bentuk pertukaran resiprositas yang melembaga dalam kehidupan sehari-hari. Pertukaran ini mengandaikan bahwa kedua belah pihak saling diuntungkan dari jual-beli suara dalam pemilu 2004 itu. Politisasi forum RT itu menyebabkan kehangatan dan kekompakan sosial antarwarga menjadi retak dan membuka peluang munculnya konflik-konflik sosial di dalam komunitas kecil.

Pemilu 2004 memang diwarnai oleh politisasi komunitas RT. Saya menemukan partai politik telah mengontrol komunitas RT dengan cara mereproduksi politik aliran sehingga warga komunitas ini terkotak-kotak dalam semangat primordial alirannya. Studi saya menemukan bahwa para PNS, pamong, dan pensiunan kelas menengah di komunitas RT memaknai Golkar sebagai simbol kepriyayiannya, sedangkan santri yang bekerja sebagai pegawai swasta dan pedagang memaknai PAN sebagai simbol kelompoknya, dan para kaum abangan yang kebanyakan petani gurem dan buruh pabrik memaknai PDIP sebagai identitas kelompoknya. Pada masa pemilu 2004 itu, komunitas RT menjadi miniatur dari sistem sosial di Indonesia yang tersegmentasi ke dalam ikatan primordial yang berbasis pada kelas dan agama. Akibatnya, komunitas RT menjadi sarat dengan kepentingan elite untuk mengontrol masyarakat sipil. Dengan demikian, komunitas RT yang menekankan ideologi komunalistik dan egalitarian menjadi rapuh ketika partai politik mengintervensinya dengan mendorong warga untuk terperosok dalam kepentingan ikatan kelas dan aliran keagamaannya.

Masuknya partai politik ke dalam komunitas dengan mereproduksi politik identitas aliran itu berlangsung marak lagi pada pemilu 2009. Bahkan penggunaan politik aliran itu diikuti juga dengan praktik politik uang yang dilakukan oleh para caleg. Para celeg menampilkan diri sebagai tokoh yang hadir ke komunitas untuk membagi-bagikan uang melalui kadernya. Para kadernya menemui warga yang sealiran sehingga menguat ikatan tradisionalnya. Akan tetapi para kadernya juga merambah masuk warga dari aliran yang berbeda. Kontes seperti ini merusak tradisi komunitarian di kalangan warga untuk slaing menjaga hubungan social yang inklusif. Dengan cara seperti itu, maka terjadi peraturan para celeg untuk memecah dan merusak ikatan aliran yang sebenarnya selalu ditekan oleh komunutas demi menjaga integrasi sosial.

Kontes politik aliran itu dapat dikatakan mengulang lagi perjalanan sejarah Indonesia tahun 1950-an. Geertz (1992) adalah sarjana antropologi yang menemukan gejala melembaganya politik aliran di masyarakat Mojokuto, Jawa Timur, pada waktu itu. Dengan melembaganya politik aliran dalam komunitas RT pada masa kini, maka semakin jelas bahwa institusi RT tetap saja dalam kontrol negara. Jika dulu RT bersifat korporatis dan panglimanya adalah rezim Orde Baru dengan melanggengkan suara warga RT untuk Golkar, maka pada masa kini adalah untuk mendukung kepentingan para elite yang menggunakan partai politik dan politik aliran di komunitas kecil itu.

Tugas Negara ke Depan
Reformasi akan mewujudkan masyarakat sipil yang kuat dan mampu secara mandiri membangun komunitasnya jika organisasi komunitas kecil seperti RT dibebaskan dari cengkeraman negara dan kontrol partai politik yang ingin mengukuhkan kekuasaannya. Tugas negara adalah justru mengambil jarak tanpa menghilangkan perannya sebagai fasilitator organisasi komunitas itu di dalam mewujudkan pembangunan sosial sehingga akan terbentuk komunitas yang mandiri dan partisipatif. Apabila negara berperan seperti itu maka komunitas RT bukan menjadi masalah ke depan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang pluralistik dan humanistik. Optimisme masih dapat diraih bagi terbentuknya komunitas semacam itu karena RT dalam era reformasi pun banyak yang lebih berkepentingan untuk menaruh perhatian pada terwujudnya pembangunan sosial daripada tercebur dalam politisasi komunitas. * * *


DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Lina. 2001. Keberadaan dan Peranan Rukun Tetangga dan Rukun Warga dalam
Birokrasi Pemerintahan Desa di Yogyakarta. Yogyakarta: Fisipol UGM. Skripsi S1.
Geertz, Cliford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Hudayana, Bambang. 2002a. “Dusun dalam Cengkeraman Desa: Komunitas Humanistik
dalam Komunitas Politik”. Makalah Seminar Dinamika Politik Lokal di Indonesia,
diselenggarakan oleh Percik Salatiga 9-12 Juli 2002.
___. 2002b. “Anatomi Civil Society Desa: Perkembangan Perkumpulan Warga”. Makalah untuk
Pertemuan FPPM V di Cilegon Propinsi Banten.
Sahlins, Marshall. 1976. Stone Age Economics. London: Tavistock Publication
Santoso, Purwo. 2000. ‘Pengelolaan Modal Sosial dalam Rangka Pengembangan Otonomi Desa:
Suatu Tantangan”, Makalah Seminar Bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK),
UGM, Yogyakarta 8 Agustus 2002.
Schiller, Jim. 2002. “Looking for Civil Society the 19999 Election in Jepara”. Renai 2 (1):5-18.
Sullivan, John. 1992. Local Government and Community in Java, an Urban Case Study.
Singapore: Oxford University Press.
Tandon, Rajesh dan Ranjito Mohanty. 2002. Civil society and Governance. New Delhi: Samskriti.
Tarrow, Sidney. 1996. "Making Social Science Work Across Space and Time: a Critical Reflection
on Robert Putnam's Making Democracy Work" American Political Science Review. 90 (2):
380-397.

Sabtu, 21 November 2009

Kesemrawutan Transportasi di Kota Yogyakarta: Berilah Petunjuk ke Jalan yang Benar

Oleh: Bambang Hudayana[1]

I

Keindahan kota Yogyakarta bukan sesuatu yang spektakuler di hati para penduduk, mahasiswa dan wisatawannya. Yogyakarta mirip dengan kota-kota menengah lainnya di seantero Nusantara. Akan tetapi, Yogkakarta bisa berkata bahwa dirinya berbeda dengan yang lain karena pernah tampil sesuai dengan slogannya “berhati nyaman”. Slogan ini memiliki rujukan yang kaya bukti. Kita bisa mendengarkan kesan dari para alumni perguruan tinggi di kota pelajar ini. Mereka selalu merindukan Yogyakarta yang identik dengan nuansa kehangatan sosial, kedamaian, dan keramaian yang merakyat dan kemudahan menyusuri sudut-sudut kampung sampai jantung kota.

Kini kerinduan mereka tidak pernah terobati manakala berkunjung kembali. Kampus, kampung, pusat pertokoan, warung makan, keraton sepertinya bukan lagi sebagai ruang publik yang enak dikunjungi. Jalan menuju tempat-tempat tersebut penuh dengan lalu-lalang manusia berkendaraan bermotor dan semrawut lagi. Semua orang sepertinya merasakan sebuah keletihan dan kebosanan di jalan, dan mereka berburu waktu dan berebut jalan untuk bisa cepat mencapai tujuan. Suasana itu telah diperkeruh dengan deru mesin yang mengusamkan udara, mata, kulit dan nafas semua orang yang berada di jalan, trotoar, restoran, warung, kios, dan di kampung yang padat penduduknya.

Dalam setiap harinya sepeda motor yang turun ke jalan tidak kurang dari 60 ribu buah. Angka itu baru jumlah sepeda motor yang STNKnya kotamadya Yogyakarta. Belum termasuk sepeda motor dari pendatang yang kuliah dan belajar di kota ini yang jumlahnya dipastikan lebih dari angka itu. Tidak ketinggalan masih ditambah dengan mobil yang semakin meroket jumlahnya dan berlalulalang berebut jalan dengan motor, becak dan berbagai angkutan umum.

Banyaknya motor dan mobil pribadi itu menandakan kemajuan jaman, dan kesejahteraan ekonomi, tetapi sekaligus mengisyaratkan memudarnya Yogyakarta sebagai kota yang “berhati nyaman”. Berkunjung ke pusat kota, keraton, pertokoan, kampus dan warung harus dibayar mahal, bukan karena sekedar BBM harganya meroket, melainkan karena kepadatan transportasi itu telah menimbulkan kesemrawutan, kemacetan dan keterlambatan mencapai tujuan. Mereka juga telah menimbulkan tindak kriminalitas pencurian motor yang tinggi, pencemaran udara, kecelakaan lalulintas, stress yang lambat laun menumpuk yang mengancam keselamatan, kesehatan dan ketentraman. Kini warga sepertinya tidak jenak dan bisa menikmati suasana di pusat keramaian itu karena susah parkir dan untuk bisa memperoleh tempat yang paling nyaman pun seperti mall dan pusat hiburan harus dibayar dengan mahal.

II

Wajah kota Yogyakarta memang kusam karena telah lebih dari 15 tahun terakhir ini masalah transprotasi tidak dibenahi secara serius. Ketika motor mulai menggeser sepeda ontel dan becak, dan ketika mobil pribadi mulai meningkat, maka sebaiknya bis kota sebagai angkutan umum pun dikembangkan untuk pelayanan publik.

Bis kota bisa menjadi kebanggan warga ketika angkutan ini justru mempunyai keunggulan yang luar biasa. Pertama: angkutan ini didesain untuk melawan laju penggunaan angkutan pribadi baik motor maupun mobil dengan cara mengaturnya agar jumlah armada dan pelayanannya baik seperti berjalan menuju halte tepat waktu dan murah. Kata murah bukan hanya harga tiketnya saja tetapi dengan berpindah rute, seorang penumpang tidak perlu membayar lagi karena ia identik dengan berpergian sehari. Kedua: angkutan ini merupakan pelayanan kota kepada warga sehingga Pemda kota memsubsidi sebagian dari pembiayaannya. Ketiga: angkutan ini tidak identik dengan pelayanan untuk orang miskin tetapi semua warga agar mereka bisa menghemat anggaran rumah tangganya dan konsumsi BBM yang langka. Keempat, angkutan ini memperoleh fasilitas dan hak yang lebih besar di dalam menggunakan jalan umum daripada angkutan pribadi sehingga dikenal dengan nama bus priority. Kelima, sebagai bus priority, angkutan ini menggantikan semua angkutan umum bermotor lainnya di kota sehingga seluruh pelayanan publik dalam satu sistem dan atap yang didukung Pemda. Keenam: angkutan ini menghubungkan komunitas dengan pusat keramaian kota, dan kota dengan desa-desa di sekelilingnya. Keenam: angkutan ini milik warga sehingga membuka akses bagi mereka untuk menamkan modalnya dalam bentuk koperasi atau lainnya.

Gagasan bis kota seperti itu bukan sesuatu yang baru. Di negara-negara eropa yang merupakan welfare state bis kota merupakan bagian dari pelayanan publik yang memaksa negara harus mensubsidinya dan memberikan prioritas bagi angkutan umum ini untuk menguasi jalan raya. Warga kota ikut berpartispasi dalam mengembangkan bus priority ini dengan memiliki saham atau dana penyerta sekaligus mengawasinya. Dengan adanya bus priority ini maka warga tidak harus memiliki mobil untuk bekerja dan berwisata di kota. Angkutan ini bisa lebih lancar, tepat waktu, murah dan aman. Tidak ketinggalan, para penumpangnya tidak harus berdesakan karena jumlah bis memadai. Mereka tidak akan menghadapi supir yang mengejar setoran sehingga kebut-kebutan berebut penumpang. Bis itu tidak akan diturunkan kualitas dan pelayanan seenaknya karena pemerintah daerah mengatur sesuai dengan amanat warga.

Pengalaman naik bis kota di Brighton Inggris sungguh menegaskan bahwa bus priority itu jauh lebih penting daripada angkutan pribadi. Penumpang bis kota ibarat raja yang duduk dengan tenang dan bisa bertegur sapa, sendagurau dengan rekannya. Menarik lagi adalah ketika alat untuk mengeluarkan karcis rusak, atau supir tidak memiliki uang receh untuk membayar sisa pembayaran karcis, maka si penumpang tidak dipungut bayar. Semua aturan memasitikan bahwa warga tidak kesilitan membayar baik dari segi harga mauun teknisnya. Bus priority seperti itu telah ikut menyuburkan tradisi kesantunan antar warga. Mereka telah dilayani dengan baik, dan sebaliknya mereka pun harus berbuat sama baik kepada supir, penumpang, dan mereka yang berada di tempat public dan keramian.

Susana menikmati bis kota di Inggris itu mungkin pernah sedikit terjadi di Yogyakarta ketika angkutan umum seperti colt kampus dan bis kota masih merajai dan menjadi angkutan terbaik pada masa kelahirannya. Namun karena dalam perkembangannya angkutan umum itu tergilas oleh angkutan pribadi, dan tidak ada reformasi, maka angkutan umum itu menjadi cerita masa lalu. Kini warga Yogya mengeluh atas kesemrawutan sistem transportasi di kotanya. Pengalaman saya bergabung dengan Pustral UGM pada program bus priority untuk Yogyakarta menemukan kegelisahan warga, tetapi mereka belum memiliki sebuah formula dan keberanian untuk melakukan agenda reformasi. Warga tidak menemukan jalan keluar, karena setiap gagasan akan bersiko besar jika diimplementasikan. Apabila mengembangkan bus priority yang mendekati gagasan bis kota di eropa itu maka akan menelan korban, dan bahkan tidak terkecuali mereka sendiri. Bila jalan diprioritaskan untuk bis kota, maka mereka akan kehilangan kesempatan kerja di usaha parkiran, perbengkelan, dan bahkan usaha angkutan umum. Jelas bahwa munculnya bis kota seperti itu akan berpihak kepada kepentingan publik daripada sektoral sehingga mereka akan keberatan bila reformasi bis kota diwujudkan.

Sistem transportasi kota Yogyakarta dan di berbagai kota di Indonesia memang tidak berorientasi kepada kepentingan publik. Akibatnya pun sudah dirasakan terutama oleh warga dari kelas menengah ke bawah. Seorang tidak bisa bekerja tepat waktu menjadi buruh harian di kota ketika ia tidak memiliki sepeda motor. Ironisnya investasi ke sepeda motor menelan biaya yang mahal, sedangkan penghasilannya relatif rendah. Seorang pelajar tidak nyaman dan aman lagi naik sepeda, dan pilihan jatuh ke sepeda motor karena angkutan ini ngetrend dan untuk naik bis kota mereka bisa harus membayar mahal serta tidak pasti sampainya. Dengan adanya semacam bus priorority di Yogyakarta, maka mereka tidak perlu bekerja ekstra untuk melakukan investasi di bidang angkutan pribadi karena muncul pelayanan publik melalui angkutan umum yang menjamin ketepatan waktu perjalanan dan harga yang relatif murah.

Apabila muncul reformasi angkutan umum di Yogyakarta dengan mengembangkan bus priority itu, maka masa depan Yogyakarta bisa pulih sebagai kota pelajar, wisata dan kebanggaan warganya. Pertama: jalan tidak lagi berjubel dan semrawut, dan perjalanan juga efisien. Kedua: warga tidak lagi berlomba-lomba melakukan investasi di bidang angkutan pribadi, dan beralih di bidang yang strategis misalnya pendidikan. Ketiga: aura kota Yogyakarta yang ramah dan nyaman bisa bangkit kembali dan membuat orang bisa menikamati kota dengan segala fasilitasnya. Keempat: tidak ketinggalan kebiasaan jalan kaki dan dolan di dalam kota dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa perlu menciptakan kawasan bebas kendaraan bermotor seperti yang akan diberlakukan di Malioboro. Keramaian kota akan muncul dengan suasana yang lebih nyaman, dan situasi ini akan mendorong berkembangnya berbagai festival kesenian, budaya, olah raga disrtai pula dengan merebaknya aktivitas ekonomi untuk melayani pengunjung yang leluasa berjalan kali dan bersantai ria.

III

Reformasi angkutan umum di Yogyakarta akan menambah deretan nama baik yang disandang sebagai kota perjuangan, pelajar dan pusat budaya Jawa yang multikulturalis. Reformasi ini akan berhasil jika mendapat dukungan dari berbagai pihak. Jika sementara ini sektor swasta di bidang transportasi menikmati atas kesremawutan sehingga engan mmberikan dukungan reformasi angkutan umum, maka hal itu merupakan sebuah gejala yang wajar. Akan tetapi, jika skema reformasi dengan mengedepankan bus priority itu melibatkan mereka maka tidak waja jika menolaknya. Sementara itu, pihak yang harus proaktif untuk mengagendakan pembaharuan angkutan publik tidak lain adalah justru masyarakat sipil, perguruan tinggi, partai politik dan pemerintah dan Keraton. Melalui dukungan organisasi masyarakat sipil (CSO) dan LSM, masyarakat sipil sudah sepatutnya melakukan agenda-agenda perubahan menuju angkutan umum yang berpihak untuk kepentingan mereka. Masyarakat sipil di Yogyakarta sebenarnya mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap pembangunan jalan. Di Yogyakarta, warga memiliki tradisi gotongroyong yang kuat di dalam membangun jalan di lingkungannya. Tradisi ini dapat ditranformasikan menjadi sebuah agenda untuk membangun sistem tranprotasi yang menjawab kebutuhan mereka lebih baik. Selama ini pemaknaan gotongroyong berhenti pada suatu kewajiban sosial dan mengabaikan hak sosial atas jalan yang sudah mereka bangun. Hak sosial itu mestinya bisa bermuara pada terpenuhinya kebutuhan jalan sebagai milik bersama, bukan hanya bagi mereka yang kuat secara ekonomi untuk menguasainya.

Di samping CSO dan LSM, perguruan tinggi juga tidak bisa tinggal diam. Kebobrokan sistem transportasi bukan hanya mengancam industri pariwisata tetapi juga sektor pendidikan. Kini kerja Pustral UGM selangkah lebih maju dengan menyajikan gagasan reformasi angkutan umum di Yogyakarta. Namun lembaga ini juga tidak bisa berhenti hanya menyajikan konsep yang implementatif. Era demokrasi harus ditangkap lebih mendalam bahwa masyarakat sipil itulah yang bisa diandalkan untuk melakukan perubahan.

Perjuangan mewujudkan reformasi itu memang terletak pada keputusan politik dan para politisi dan eksekutif sudah sepatutnya berani membuat keputusan politik dan kebijakan serta program yang responsis di bidang transportasi. Ketidakberanian melakukan perubahan akan memperkeruh masalah di kemudian hari, dan semakin sulit menemukan solusinya.

Mengagedakan munculnya bus priority seperti di Eropa bukan sebuah bentuk pengingkaran terhadap jati diri. Pengingkaran ini menjadi tidak masuk akal jika menyadari bahwa Yogyakarta muncul karena melawan arus. Ia memperoleh status sebagai Daerah Istimewa karena keberanian tokoh masyarakatnya dalam hal ini Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk mendukung dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia juga melawan arus yang menyerahkan tahta untuk rakyat dalam arti ia secara konsisten mendorong tumbuhnya kekuatan masyarakat untuk bisa mandiri menyelesaikan masalah yang dihadapi dan pihak Keraton menampilkan keteladanan bersama rakyatnya. Oleh karena itu, barangkali warga Yogyakarta akan berbesar hati jika Keraton ke depan di dalam membangun keistimewan bukan berhenti pada otentiksitasnya sebagai pemangku bumi Mataram, tetapi berlanjut pada upaya mewujudkan pengabdiannya kepada rakyatnya dengan mendorong meningkatnya pelayanan publik, tidak terkecuali di bidang angkutan umum.



[1] Penulis di samping sebagai peneliti pada IRE-Yogyakarta dan dosen UGM juga sedang bergabung dengan Putral UGM untuk studi aksi tentang bus priority di Yogakarta. Pernah diternitykan dalam Bulletin Flamma IRE-Ygyakarta