Minggu, 22 November 2009

Bukan Sekedar Romantisme: Bangkitnya Nagari Sungai Kamuyang di Tanah Minang


Oleh: Bambang Hudayana


Kesan Pertama yang Menggoda

Bulan Sepetember 2004 merupakan awal dari perkenalanku yang sangat berkesan dengan para anak nagari di tanah Minang. Selama satu minggu saya tinggal di kabupaten Limapuluh Kota untuk mempelajari Kebijakan Dana Alokasi Untuk Nagari (DAUN). Hari pertama tinggal di kabupaten penghasil gambir ini saya langsung terkesan oleh indahnya panorama alamnya. Kabupaten ini tidak kalah dengan Bukti Tinggi yang kaya dengan panorama perbukitan dan gunung-gunung yang berjenjang mengitarinya. Limapuluh Kota lebih dari itu karena menampilkan lembah dengan sawah yang subur dengan dikitari oleh bukit yang memancarkan air terjun dengan suasana yang lebih alami tanpa hilir mudik wisatawan dan desingan deru kendaraan yang memadati jalan raya.

Di Limapuluh Kota itu saya sepertinya membaca kembali etnografi klasik tentang kehidupan orang Minang. Memang masih kentara sekali keaslian komunitas Minang dapat dirasakan. Identitas Minang belum luntur dan bahkan terpelihara. Di dalam kota Payakumbuh banyak dijumpai rumah gadang yang melambangkan kuatnya tradisi matrilineal dan ekologi persawahan sebagai basis ekonomi. Memasuki wilayah pedesaan, rumah-rumah gadang pun tetap terpelihara dengan baik dan surau-surau tetap menjadi pusat dari kehidupan keagamaan dan berkembangnya kepribadian anak-anak nagari.

Selama satu minggu tinggal di sana, saya juga menangkap kekhasan orang Minang yang hidup bersendikan pada budaya matrilineal dan agama yang kuat. Keduanya dipadukan dalam pepatah “Adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah“. Pepatah ini mengamanatkan bahwa hidup orang Minang berpegang tegung pada kaidah-kaidah hukum adat yang menjunjung tinggi semangat keagamaan Islami“.

Kesan lain yang dialami bagi orang luar di tanah Minang adalah kemahiran pada diri kebanyakan anak nagari di dalam bercaka-cakap. Untian syair dan pepatah senantiasa dilantunkan ketika menggagas suatu masalah dan tidak ada kesulitan bagi mereka untuk berorasi. Akhirnya kesan lain yang memang relevan untuk kami kaji adalah kuatnya semangat orang Minang itu untuk menghidupkan kembali nagarinya. Saya lalu bertanya-tanya apa hebatnya nagari itu sehingga mereka tidak menyebut lagi dirinya sebagai orang Minang melainkan anak nagari.


Menghidupkan Kembali Nagari


Jawaban atas pertanyaan itu barangkali dapat diruntut dari kisah masa lalu ketika belum diberlakukannya UU No 5 tahun 1979. Nagari merupakan sebuah republik kecil yang mencerminkan terintegrasinya antara struktur dan solidaritas sosial masyarakat Minang dengan pengelolaan pemerintahan nagari. Dalam konsep klasik di Limapuluh Kota, pemerintahan nagari dipegang oleh penguhulu (pengarah), wali nagari (manti), cerdik pandai (dhubalang) dan ninik mamak (datuk). Mereka mempunyai fungsi yang berbeda-beda dalam mengelola pemerintahan, tetapi hubungan antar institusi pemerintahan itu tidak bersifat hirarkis. Para penghulu adalah mereka yang mempunyai otoritas kebenaran atas hukum dan perundang-undangan, dan para dhubalang adalah para alim ulama yang menjadi guru anak nagari yang ikut terlibat dalam setiap pengambilan keputusan, dan para datuk adalah mereka yang mewakili kepentingan para kemenankan (anak nagari) sedangkan manti menjalankan peran eksekutif yang dilaksanakan sesuai dengan hasil musyawarah para pemegang tata pemerintahan nagari tersebut.


Nagari di tanah Minang itu bersifat otonom dan telah hidup sejak abad ke 2 sehingga telah berurat dan berakar dalam kehidupan orang Minang. Nagari berfungsi semacam self governing community yang bervisi pada terwujudnya masyarakat sejahtera (walfare society) dan mengemban terpeliharanya adat-istiadat dan kehidupan masyarakat yang agamis. Akan tetapi, di bawah rezim Orde Baru yang otoritarian, UU N0 5 /1979 dipaksakan di tanah Minang sehingga menghapus fungsi nagari sebagai pemerintahan lokal. Era berlakunya UU pemerintahan desa itu merupakan masa berkabung bagi anak nagari dan hancurlah solidaritas anak nagari membangun komunitasnya. Oleh karena itu, dengan lahirnya UU No 22 tahun 1999, maka segera muncul Perda Propinsi No. 9 tahun 2000 yang mengamanatkan kembali ke pemerintahan nagari.

Di Limapuluh Kota, kelahiran Perda Propinsi itu juga mendapat respons yang positif dari anak nagari. Wacana menghidupkan kembali nagari menjadi agenda politik sehingga lahirlah Perda No 1 tahun 2001 yang berisi tentang pemerintahan nagari. Perda ini memperkuat pemerintahan nagari sesuai dengan prinsip UU No 22 tahun 1999 dan Perda No 9 tahun 2000 itu yang mengamanatkan pemerintahan nagari dikelola oleh wali nagari yang menjalankan fungsi eksekutif, dan Badan Perwakilan Anak nagari (BPAN) yang menjalankan fungsi legislatif. Sesuai dengan konteks pemerintahan nagari klasik, kemudian dibentuk Lembaga Anak nagari (LAN) yang menjalankan fungsi yudikatif dengan tugas mengenai sengketa harta pusaka, Dimantapkan pula Lembaga Syarak Nagari (LSA) yang berfungsi sebagai wadah kebersamaan memajukan adat dan agama, dengan diisi oleh wakil dari kaum ulama dan adat, serta Badan Musyawarah Adat dan Agama (BMAS) yang berfungsi sebagai dewan konsultasi bagi pemerintah nagari, yang anggotanya adalah wakil dari suku dan ninik mamak yang ada.


Sungai Kamuyang sebagai Model Pengembangan Nagari

Pengembangan nagari di Limapuluh Kota diawali dengan mempromosikan Sungai Kamuyang sebagai pilot projek. Pilihan ini diambil karena kuatnya semangat tokoh setempat untuk menghidupkan kembali nagari. Tidak kalah penting para anak nagari seperti H. Luzon Lanjumin yang sekarang duduk sebagai wali nagari merupakan contoh anak nagari yang siap mengabdikan diri meskipun telah kenyang mengabdi di pemerintahan. Ia kini juga merangkap sebagai Ketua Asosiasi Wali nagari di mana beliaulah yang yang mendorong para wali negari bersatu mendekatkan nagari dengan kebijakan pemerintah kabupaten.

Dalam perkembangannya Sungai Kamuyang memang bisa menjadi contoh yang ideal pemerintahan nagari di Kabupaten Limapuluh Kota. Jika tidak, maka tidak mungkin nagari ini menjadi ajang studi banding para wali nagari dan BPAN di seluruh wilayah kabupaten ini, bahkan kabupaten lainnya di tanah Minang. Pada tahun 2001 Sungai Kamuyang berhasil mewujudkan penataan pemerintahan sesuai dengan amanat Perda, penguatan capacity building pengelola nagari, dan bahkan bisa menerapkan APBDES partisipatif yang didukung oleh DAUN yang diberikan oleh pemerintah kabupaten dalam rangka penguatkan fungsi pemerintahan nagari di bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Tiga kisah Keberhasilan Sungai Kamuyang

Pernag yang partisipatif

Membaca Pernag (peraturan Nagari) Sungai Kamuyang akan mendapatkan kesan bahwa wali nagari dan stafnya sangat kompeten di dalam merumuskan Pernag ke dalam bahasa hukum. Semua Pernag selalu diperhatikan dengan seksama, dan pasal-pasal dalam pernak disusun secara sistematis dan diketik rapi dengan memakai komputer, dan yang lebih penting adalah isinya dapat diimplementasikan menjadi keputusan wali nagari secara konkrit.

Tahun 2003 Sungai Kemuyang menghasilkan banyak Pernag yang partisipatif. Pernag itu antra lain mengenai (1) Pemanfaatan tanah ulayat, (2) Pengelolaan tempat pemandian Batang Tabit, (3) Pemeliharaan jalan dalam Nagari, (4), Wajib Khatam Al Quran bagi Murid/Anak Usia SLTP, (5) Tata cara pelaksanaan nikah dan baralek kawin, (6) PAS dari penjualan ternak, (7) Penyakit masyarakat (PEKAT), dan (8) Penyelesaian sengketa perkara.

Penyusunan Pernag selalu diawali dan diakhiri dengan konsultasi publik sehingga di samping mempunyai legitimasi yang tinggi juga menjagi dproduk hukum yang bisa menyelesaikan berbagain persoalan yang muncul dalam masyarakat. Pernag di Sungai Kamuyang ini bukan copy dari pernag-pernag dari nagari lain karena disusun melalui konsultasi publik yang dapat mempengaruhi isinya. Konsultasi publik dapat dilakukan melalui dua jalur. Pertama, melalui mekanisme kelembagaan yang paling fungsional, yaitu dibawa ke dalam lembaga BMAS yang mewakili kepentingan-kepentingan anak nagari. Kedua, dibawa melalui wali jorong yang menjadi elemen penting dalam pemerintah nagari di aras paling lokal. Para wali jorong menggali aspirasi masyarakat dan kemudian dibawa ke wali nagari atau disampaikan kepada para wakil yang duduk dalam BMAS.

APBNagari

Sesuai dengan amanat Perda, ABPnagari Sungai Kamuyang disusun melalui proses yang partisipatif dan anggaran dialokasikan sesuai dengan misi yang mengedepankan pembangunan dan pemberdayaan. Sejak tahun 2001 sampai 2004, APBN Sungai Kamuyang juga mengalami peningkatan. Pertama: DAUN yang diberikan kabupaten meningkat meskipun relatif kecil naiknya. kedua: meningkatnya pendapatan asli nagari (PAN) terutama dari hasil kekayaan nagari, pajak dan retribusi dan sebagian kecil swadaya masyarakat. Pendapatan dari kekayaan nagari, disusul dari pajak dan retribusi nagari menempati posisi penting dalam APBN karena kemahiran penyelenggara pemerintahan menggali dana melalui penguatan sektor-sektor ekonomi yang diberdayakan di wilayahnya. Kebijakan itu membuat partisipasi masyarakat dalam bentuk swadaya tidak penting. Dalam konsepsi para penyelenggara pemerintahan, jika nagari bisa mendapatkan sumber pendapatan lain dan relatif mampu mendanai pembangunan maka tidak seharusnya menerapkan gotongroyong sebagai sumber pendapatan.

Dalam menyusun APBNagari, wali nagari biasanya menggali aspirasi di tingkat jorong yang dilakukan oleh para jorong, dann aspirasi dari para tokoh yang diduduk dalam BPAN dan BMAS. Aspirasi mereka itu kemudian dirumuskan menjadi rencana program kegiatan yang nantinya dituangkan dalam RAPBNagari.

Kerja keras para penyelenggara nagari untuk meningkatkan pos pemasukan dari kekayaan nagri mebuahkan tampilan APBNagari yang khas. Dengan mencermati ABPNagari 2004 cerita itu semakin jelas. Anggaran Pendapatan 2004 berjumlah Rp. 303.301.894,-, terdiri atas (1) bantuan kabupaten dalam bentuk DAUN Rp. 134.960.136 (44,50 %), (2) sisa perhitungan tahun lalu Rp. 49.055.876, (16.17 %) dan (3) Pendapatan Asli Nagari (PAN) sebesar Rp. 119.285.882 (34,50 %). PAN ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang besarnya adalah sekitar 20-30 %. Sumber PAN terdiri dari tiga macam (1) kekayaan nagari sekitar 86.000.000 (72.10 %) (2) pajak dan retribusi 22.685.882, (19,01 %) dan (3) swadaya masyarakat Rp. 10.600.000. (8,89 %). Sungai Kamuyang memang sangat potensial untuk memperoleh pendapatan yang besar dari kekayaan nagari, karena mempunyai kolam pemandian dan mata air untuk PDAM.

Dari segi pengeluaran, nampak bahwa Sungai Kamuyang telah melaju pada program peningkatan pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat. Dari dana pemasukan di atas, pengeluarannya diposkan pada (1) Belanja rutin 130.120.894 (42,90 %) pembangunan 173.181.000 (57,10 %). Dana pembangunan ini dialokasikan untuk (1) pembangunan SDM seperti beasiswa anak miskin, PKK, pekan orientasi SD bantuan makanan anak balita, dan remaja mesjid Rp. 22.260.000 (12.85 %); Program umum pembangunan sumberdaya ekonomi lemah Rp. 6.000.000 (3,46 %); program pembangunan sarana sosial seperti untuk honor guru TPA, dan guru MDA, kesenian tradisional, olahraga, dan sarana MCK Rp. 59.650.000 (34.44 %), program pembangunan infrastruktur seperti jembatan, jalan, irigasi dll, Rp. 80.000.000 (46.19 %); dan program umum sumberdaya produksi seperti pemberantasan tikus Rp.1.500.000 (0.86 %). dan biaya umum pembangunan Rp. 3.771.000 (2.17 %).

Melihat alokasi belanja jelas bahwa Sungai Kamuyang sangat fantasitik. Benlanja dipakai sebesar-besarnya untuk merespon tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan khususnya memperhatikan kelompok masyarakat lemah. Itulah sebabnya maka kembali ke nagari menjadi sebuah impian yang realistis karena mewujudkan pemerintahan yang dekat dengan semangat solidaritas komunitas anak nagari.

Mencegah Penyakit Masyarakat

Sungai Kamuyang merupakan salah satu nagari yang terbukti dapat membangun komunitas yang mandari di dalam mengatasi berbagai masalah yang mengancam kekuatan modal sosialnya. Penyakit masyarakat bukan hanya akan mengancam religiositas dan nilai-nilai budaya, tetapi juga modal sosial dalam bentuk solidaritas komunitas. Oleh karena itu sejak dini Nagari Kamuyang meningkatkan agenda melawan penyakit masyarakat itu dengan mengeluarkan Pernag tentang PEKAT. Penyakit masyarakat dalam Pernag ini meliputi: perjudian, Miras, narkoba, Pornografi, pelacuran, penganiayaan, Togel, Toto gelap dan pelanggaran susila. Adalah menarik bahwa dalam Pernag PEKAT itu ditegaskan pengertian masing-masing penyakit masyarakat dan tindakan hukum yang diberlakukan seperti sangsi sosial ,denda dan tindakan hukum di pengadilan negeri


Belajar dari Sungai Kamuyang

Pelajaran yang berharga dari Sungai Kamuyang sepertinya tidak akan terlupakan. Sungai Kamuyang bangkit menjadi pemerintahan lokal yang mandiri berkat ikatan komunitarian yang kuat antara elite dengan masyarakakatnya. Bahkan elite di Kabupaten pun mempunyai sikap empatik dan komunitarian seperti itu, Oleh karena itu Kabupaten mengeluarkan kebijakan DAUN guna meningkatkan anggaran nagari di dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Masalahnya adalah masih banyak desa di Indonesia yang belum menikmati ADD (Alokasi Dana Desa) yang intinya sama seperti DAUN tersebut. Masalah itu diperparah lagi oleh munculnya UU No 32/2004 yang menggantikan UU No 22/1999 yang meniadakan otonomi desa sehingga semangat desa untuk mewujudkan komunitas yang mandiri semakin terancam. Semoga Sungai Kamuyang tidak terhempas oleh munculnya UU No 32 tahun 2004 ini. Sampai jumpa. TULISAN INI PERNAH DIPUBLIKASIKAN DALAM BULETIN MUDIK 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar