Minggu, 22 November 2009

Dinamika Komunitas Kecil di Indonesia

Oleh: Bambang Hudayana

Pendahuluan
Gelora reformasi 1998, ditandai oleh tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru, telah mempengaruhi pola hubungan antara negara dan masyarakat sipil sebagaimana terlihat pada perubahan sosial di tingkat organisasi kemasyarakatan. Pada waktu itu, negara menuntut organisasi masyarakat sipil bersifat korporatis Dalam praktiknya, hal itu dilakukan dengan cara mengebiri, mengontrol, dan membuat organisasi masyarakat tergantung dari kebaikan pemerintah. Kini, negara dituntut untuk bertindak sebagai fasilitator, sedangkan dinamika organisasi masyarakat sipil menjadi lebih independen, dan karenanya organisasi masyarakat sipil dituntut untuk mandiri.

Masalahnya adalah bagaimana bentuk kemandirian organisasi masyarakat sipil sekarang, dan bagaimanakah mereka melepaskan diri dari belenggu korporatisme tersebut? Tulisan ini melihat bahwa banyak organisasi masyarakat sipil mempunyai potensi untuk mandiri dan bahkan ikut mendorong tumbuhnya pembangunan sosial di aras komunitas. Masalahnya adalah mereka ini masih sangat rentan untuk dikontrol oleh elite-elite lokal dan politik yang menguasai pangggung kekuasaan. Dengan mengamati perkumpulan RT (Rukun Tetangga), maka kecenderungan tersebut mudah diamati dan dijelaskan.

RT merupakan sebuah perkumpulan berbasis pada ikatan teritorial. Lembaga ini dibentuk oleh pemerintah Orde Baru pada awal tahun 1980-an untuk mengendalikan komunitas dengan berfungsi sebagai bagian dari rantai birokrasi ke komunitas (Agustin, 2001). Saya mencatat bahwa RT-nisasi sesungguhnya sinergis dengan pengelompokan masyarakat secara alami ke dalam jaringan sosial ketetanggaan. RT-nisasi ini telah melembaga dalam masyarakat Jawa dan pernah dimantapkan oleh pemerintah pendudukan Jepang (Sullivan, 1992). Oleh karena itu, walaupun RT menjadi kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintahan desa untuk mengatur masyarakatnya, RT tidak kehilangan fungsinya sebagai organisasi yang komunitarian, yakni bekerja untuk mewujudkan solidaritas, kehangatan, dan kemajuan lingkungan sosialnya.

Dengan adanya institusi RT, dusun sebagai komunitas kecil terpilah dalam satuan-satuan RT, yang kemudian satuan ini disatukan ke dalam lingkup RW (Rukun Tetangga), dan baru kemudian antar-RW disatukan dalam lingkup dusun. Dalam satu dusun biasanya penduduknya sekitar 500- 600 jiwa, terdiri atas sekitar 120-200 KK, dan teridri atas 2-6 RT, dan masing-masing memiliki anggota sekitar 30-60 KK.

Reposisi Komunitas Korporatif
Pada era reformasi, muncul gagasan untuk menghapus perkumpulan RT. Pemerintah Kabupaten Bantul, misalnya, mengetengahkan wacana perlu tidaknya untuk membubarkannya, dan salah satu LSM di Yogyakarta ikut memprakarsai pembubaran tersebut. Dalam debat publik di TVRI Yogyakarta tentang RT/RW muncul tuntutan penghapusan RT karena institusi ini menjadi arena bercokolnya pemerintah di dalam komunitas (Santoso, 2002:8). Memang pada masa dahulu, sebagai bagian dari birokrasi pemerintah desa, RT/RW diberi peran yang kuat dan berfungsi sebagai ajang sosialisasi pemerintah desa dalam memasyarakatkan program pembangunan (Agustin, 2001; Sullivan 1986). Akan tetapi, dalam debat publik di tingkat propinsi kelompok yang tidak setuju dilakukan pembubaran sangat kuat argumentasinya. RT tidak dilihat sebagai lembaga state corporatism lagi, melainkan organisasi komunitas yang berhasil mewujudkan fungsinya untuk menciptakan sebuah masyarakat kecil yang dilandasi oleh semangat kekeluargaan (guyup rukun) dan dikelola secara demokratis serta partisipatif.

Kelompok yang tidak setuju atas pembubaran RT itu sejalan dengan temuan saya bahwa betapa pentingnya perkumpulan komunitas itu karena menjadi modal sosial yang cukup handal bagi warga untuk membangun komunitasnya . Saya merasa tidak begitu berkepentingan untuk mengkiritisi kehadiran pemerintah dalam komunitas itu karena tidak memandulkan perkumpulan itu untuk secara kreatif mewujudkan solidaritas sosial antarwarga. Forum RT telah menjadi organisasi yang mengelola komunitasnya (self governing community). Banyak urusan publik di RT dpecahkan bersama, dan menuntut partisipasi warganya untuk menyumbangkan pikiran, tenaga, dan dana. Untuk mengakrabkan anggota, RT mengadakan pertemuan anjangsana secara bergiliran antar anggota atau di rumah warga yang luas. RT juga membuat dana simpan pinjam dan menyediakan pelayanan sosial sendiri seperti menyediakan peralatan pesta untuk warganya, dan dana pembangunan (Mawarni, 2000:18-19). Anggaran RT relatif kecil, tetapi dikembangkan secara partisipatif dan kerjasama yang kompak sehingga menjadi lembaga yang disegani oleh orang desa.

Dewasa ini, RT semakin berperan di dalam memfasilitasi hubungan antara warga dengan dunia luar. RT menjadi tameng bagi warga untuk menghindari praktik pungutan liar. Bila muncul tamu meminta bantuan sosial ke rumah-rumah, warga dapat menolaknya dengan memasang stiker atas nama RT, misalnya “pengamen dilarang masuk”; “pemulung dilarang masuk”; “permintaan sumbangan melalui RT”, dan sebagainya. Dengan cara itu maka tamu akan kesulitan memeras warga dan warga dapat menolak secara halus karena setiap masalah yang dihadapinya akan dipecahkan oleh forumnya.

Di desa IRE bekerja, setiap 30-an Kepala Keluarga dibentuk satu RT dan sebanyak 2-4 RT dapat dibentuk satu RW, dan dalam satu dusun bisa dibentuk 1-4 RW. RT sepertinya tidak mungkin dibubarkan bahkan organisasi ini telah mendarahdaging dalam kehidupan bertetangga. RT juga sebagai ajang untuk memobilisasi sumberdaya warga untuk mendukung bekerjanya birokrasi dan pemerintah desa. Sebagai contoh, warga RT di Wukirsari dapat memperoleh bantuan kemanusiaan seperti dana opname sekitar Rp. 15.000, dan kematian Rp. 20.000. RT-RT sedusun dapat bekerjasama, satu RT menyediakan peralatan pesta, dan RT-RT lainnya membeli peralatan memasak, pengeras suara, dan dekorasi. Dana berasal dari iuran warga dan fundraising. Dalam bulan April 2000, sebuah RT memperoleh pemasukan dari sembilan jenis (jimpitan uang, beras, ronda, sewa fasilitas RT, jasa arisan, penjualan pisang, administasi, dan jasa pinjaman sebanyak Rp.187.500; Dana itu untuk menguatkan organisasi dan pembangunan fisik sebesar Rp. 75.900,- dan sisanya menjadi kekayaan RT yang dapat dipakai untuk berbagai kebutuhan bersama (lihat juga Mawarni, 2000:18-19).

Ketegangan-ketegangan antara desa dengan warga mudah diketahui melalui forum RT. Hubungan yang personal, ketetanggaan dan kepercayaan yang tinggi menyebabkan keluhan warga terhadap desa disalurkan lewat forum RT daripada forum yang lain.

Politisasi Komunitas
RT memang tidak perlu dibubarkan karena telah menjadi institusi yang kredibel dalam masyarakat dan mampu mewujudkan sebuah komunitas humanistik. Akan tetapi, warga RT perlu belajar lebih waspada terhadap elite lokal dan politisi yang sering menggunakan forumnya untuk ajang memperluas cekereramannya. Peringatan itu diangkat dari pengalaman saya mempelajari respons RT dalam Pemilu 2004.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu faktor yang menentukan kemenangan partai politik dalam setiap kali Pemilu adalah dimilikinya mesin politik yang berada di aras lokal. Mesin politik itu adalah para elite lokal dan kader partai serta pamong yang berakar dalam masyarakat dan menguasai kepemimpinan dalam pemerintahan desa serta sumberdaya ekonomi yang strategis di komunitasnya (Hudayana, 2004). Golkar telah menanamkan mesin politik itu jauh sebelum memasuki era reformasi, dan hingga kini masih banyak elite lokal itu yang terus setia dengan partai ini. Oleh karena itu, kemenangan pun diraihnya dengan cara menggunakan forum RT untuk ajang sosialisasi dan memobilisasi pemilih.

Pada masa pemilu 2004, partai-partai politik kemudian berebut untuk masuk ke dalam insitusi RT. Di daerah penelitian saya, misalnya, para ketua dan pengurus RT didorong untuk menjadi simpatisan partai-partai politik dan didorong untuk mensosialisasikan calon anggota legislatif (caleg) dan partai politiknya. Jika dulu mayoritas para pengurus partai politik adalah orang Golkar, kini dengan kepiawiannya pengurus partai politik lain seperti PAN dan PDIP mengkader warga untuk menjadi simpatisannya dan menggunakan solidaritas komunitas untuk menggalang dukungan massa. Warga RT kemudian terbelah solidaritas sosialnya dan menghadapi ketegangan sosial di lingkungannya sendiri. Pada pemilu 2004, misalnya, para pengurus RT di sebuah dusun di Sleman terdiri dari simpatisan Golkar, PAN, dan PDIP sehingga mereka bersaing memanfaatkan forum RT untuk ajang sosialisasi caleg dan partai politiknya. Persaingan mereka begitu ketat dan menyebabkan politisiasi forum RT dilaksanakan secara terselubung (Hudayana, 2004:7).

Di tengah kemiskinan dan rendahnya kesadaran berpolitik, warga dibuai untuk memanfaatkan dana politik uang yang disalurkan oleh para pengurus partai melalui kadernya di forum RT itu. Politik uang pun diterima warga sebagai salah satu bentuk pertukaran resiprositas yang melembaga dalam kehidupan sehari-hari. Pertukaran ini mengandaikan bahwa kedua belah pihak saling diuntungkan dari jual-beli suara dalam pemilu 2004 itu. Politisasi forum RT itu menyebabkan kehangatan dan kekompakan sosial antarwarga menjadi retak dan membuka peluang munculnya konflik-konflik sosial di dalam komunitas kecil.

Pemilu 2004 memang diwarnai oleh politisasi komunitas RT. Saya menemukan partai politik telah mengontrol komunitas RT dengan cara mereproduksi politik aliran sehingga warga komunitas ini terkotak-kotak dalam semangat primordial alirannya. Studi saya menemukan bahwa para PNS, pamong, dan pensiunan kelas menengah di komunitas RT memaknai Golkar sebagai simbol kepriyayiannya, sedangkan santri yang bekerja sebagai pegawai swasta dan pedagang memaknai PAN sebagai simbol kelompoknya, dan para kaum abangan yang kebanyakan petani gurem dan buruh pabrik memaknai PDIP sebagai identitas kelompoknya. Pada masa pemilu 2004 itu, komunitas RT menjadi miniatur dari sistem sosial di Indonesia yang tersegmentasi ke dalam ikatan primordial yang berbasis pada kelas dan agama. Akibatnya, komunitas RT menjadi sarat dengan kepentingan elite untuk mengontrol masyarakat sipil. Dengan demikian, komunitas RT yang menekankan ideologi komunalistik dan egalitarian menjadi rapuh ketika partai politik mengintervensinya dengan mendorong warga untuk terperosok dalam kepentingan ikatan kelas dan aliran keagamaannya.

Masuknya partai politik ke dalam komunitas dengan mereproduksi politik identitas aliran itu berlangsung marak lagi pada pemilu 2009. Bahkan penggunaan politik aliran itu diikuti juga dengan praktik politik uang yang dilakukan oleh para caleg. Para celeg menampilkan diri sebagai tokoh yang hadir ke komunitas untuk membagi-bagikan uang melalui kadernya. Para kadernya menemui warga yang sealiran sehingga menguat ikatan tradisionalnya. Akan tetapi para kadernya juga merambah masuk warga dari aliran yang berbeda. Kontes seperti ini merusak tradisi komunitarian di kalangan warga untuk slaing menjaga hubungan social yang inklusif. Dengan cara seperti itu, maka terjadi peraturan para celeg untuk memecah dan merusak ikatan aliran yang sebenarnya selalu ditekan oleh komunutas demi menjaga integrasi sosial.

Kontes politik aliran itu dapat dikatakan mengulang lagi perjalanan sejarah Indonesia tahun 1950-an. Geertz (1992) adalah sarjana antropologi yang menemukan gejala melembaganya politik aliran di masyarakat Mojokuto, Jawa Timur, pada waktu itu. Dengan melembaganya politik aliran dalam komunitas RT pada masa kini, maka semakin jelas bahwa institusi RT tetap saja dalam kontrol negara. Jika dulu RT bersifat korporatis dan panglimanya adalah rezim Orde Baru dengan melanggengkan suara warga RT untuk Golkar, maka pada masa kini adalah untuk mendukung kepentingan para elite yang menggunakan partai politik dan politik aliran di komunitas kecil itu.

Tugas Negara ke Depan
Reformasi akan mewujudkan masyarakat sipil yang kuat dan mampu secara mandiri membangun komunitasnya jika organisasi komunitas kecil seperti RT dibebaskan dari cengkeraman negara dan kontrol partai politik yang ingin mengukuhkan kekuasaannya. Tugas negara adalah justru mengambil jarak tanpa menghilangkan perannya sebagai fasilitator organisasi komunitas itu di dalam mewujudkan pembangunan sosial sehingga akan terbentuk komunitas yang mandiri dan partisipatif. Apabila negara berperan seperti itu maka komunitas RT bukan menjadi masalah ke depan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang pluralistik dan humanistik. Optimisme masih dapat diraih bagi terbentuknya komunitas semacam itu karena RT dalam era reformasi pun banyak yang lebih berkepentingan untuk menaruh perhatian pada terwujudnya pembangunan sosial daripada tercebur dalam politisasi komunitas. * * *


DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Lina. 2001. Keberadaan dan Peranan Rukun Tetangga dan Rukun Warga dalam
Birokrasi Pemerintahan Desa di Yogyakarta. Yogyakarta: Fisipol UGM. Skripsi S1.
Geertz, Cliford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Hudayana, Bambang. 2002a. “Dusun dalam Cengkeraman Desa: Komunitas Humanistik
dalam Komunitas Politik”. Makalah Seminar Dinamika Politik Lokal di Indonesia,
diselenggarakan oleh Percik Salatiga 9-12 Juli 2002.
___. 2002b. “Anatomi Civil Society Desa: Perkembangan Perkumpulan Warga”. Makalah untuk
Pertemuan FPPM V di Cilegon Propinsi Banten.
Sahlins, Marshall. 1976. Stone Age Economics. London: Tavistock Publication
Santoso, Purwo. 2000. ‘Pengelolaan Modal Sosial dalam Rangka Pengembangan Otonomi Desa:
Suatu Tantangan”, Makalah Seminar Bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK),
UGM, Yogyakarta 8 Agustus 2002.
Schiller, Jim. 2002. “Looking for Civil Society the 19999 Election in Jepara”. Renai 2 (1):5-18.
Sullivan, John. 1992. Local Government and Community in Java, an Urban Case Study.
Singapore: Oxford University Press.
Tandon, Rajesh dan Ranjito Mohanty. 2002. Civil society and Governance. New Delhi: Samskriti.
Tarrow, Sidney. 1996. "Making Social Science Work Across Space and Time: a Critical Reflection
on Robert Putnam's Making Democracy Work" American Political Science Review. 90 (2):
380-397.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar