Bambang Hudayana
I
Bagi kaum yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, maka perjuangan Prof Mubyarto itu amat mulia meskipun akan menuai kesepian karena melawan arus jaman. Ia mengkawatirkan begitu dominannya mazab neoliberalisme yang yang secara nyata telah menjadi instrumen bagi kaum kapitalis untuk memperluas ekspansinya ke semua sektor ekonomi. Kekwatiran itu terbukti dan membuat ekonomi kerakyatan yang dalam menjadi sumber nafkah sebagian besar penduduk di Indonesia justru melayani ekspansi kapitalis. Ironisnya kerja melayani ekspansi kapitalis itu hanya membuahkan nafkah hidup semakin pas-pasan dan sekedar sebagai alat untuk bisa survive. Lihat misalnya pedagang asongan yang berjualan dengan ancaman dan mereka ini menjajakan produk industri tanpa jaminan asuransi kecelakaan; para penjaja warung tegal yang melayani eksekutif muda berdasi di gedung bertingkat,tanpa dukungan kredit usaha, petani tembakau yang tunduk dengan harga yang dikendalikan pengusaha rokok yang memberikan kontribusi bagi pendapatan negara yang besar dari cukainya. Adapun yang paling menyolok adalah ketergantungan petani terhadap input prioduksi dari pasar, dan tanpa akses untuk mengontrol harga hasil buminya.
Dalam bukunya yang berjudul “Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan “ (1985), Prof Mubyarto mengikuti pikiran Geertz, bahwa orang Indonesia menjadi miskin bukan karena mempertahankan ekonomi tradisional (baca ekonomi kerakyatan) di tengah merebaknya ekonomi kapitalis asing yang digerakkan pemerintah jajahan Belanda melalui politik perkebunan. Apa yang terjadi adalah kapitalis yang melahirkan kemiskinan itu dengan mengembangkan perkebunan di tanah petani dengan harga sewa yang rendah, dan upah yang murah. Akibatnya ekonomi kerakyatan yang mereka bangun adalah untuk menyambung hidup di tengah ekspansi kapitalis yang menggerogoti kekayaan mereka itu.
Dengan mencermati trend globalisasi, Prof. Mubyarto mempertegas analisisnya bahwa pasar bebas akan mempercepat proses perindahan kapital masyarakat ke tangan kapitalis asing. Pandangannya tidak keluru ketika menyaksikan bahwa kapitalis global tidak hanya mengurangi peran negara dalam pengelolaan ekonomi tetapi juga mengurangi peran masyarakatnya juga. Privatisasi BUMN yang mengelola pelayanan publik menjadi contoh nyata bahwa negara menjadi pelayan setia kapitalis global yang konon menjajikan barang dan jasa murah tetapi secara nyata tetap dapat meraih untung yang besar karena merekalah yang kemudian mengontrol bekerjanya sistem produksi. Bahkan kapitalis global itu juga mengontrol bekerjanya konsumsi dengan menciptakan masyarakat yang konsumtif.
Menjelang akhir hayatnya, Prof Mubyarto memformulasikan kembali tentang ekonomi kerakyatan yang intinya sebagai berikut. Pertama: roda kegiatan ekonomi bangsa digerakan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral. Kedua: munculnya kekuatan dari masyarakat untuk mendorong terwujudnya keadilan sosial. Ketiga: terwujudnya perekonomian nasional yang tangguh dan mandiri. Keempat terbangunnya perilaku ekonomi yang mengemban demokrasi ekonomi yang berprinsip pada kepentingan rakyat, kekeluargaan, koperasi dann usaha kooperatif. dan Kelima: keseimbangan yang dinamis, efisien dan adil antar pusat dengan daerah melalui desentralisasi ekonomi dan otonomi.
Gagasan Prof Mubyarto itu meletakan negara sebagai pemain penting dalam pengelolaan ekonomi. Konsitusi harus secara tegas mengamanatkan Indonesia sebagai welfare state, sehingga pasal 33 UU 1945 harus dipertahankan. Desentralisasi dan otonomi juga harus diwujudkan agar terjadi proses redistribusi ekonomi, keadilan dan pemerataan. Ia juga mengamanatkan bahwa eokonomi kerakyatan merupakan gerakan ekonomi yang tumbuh dari masyarakat.
Empat tahun belakangan ini Prof Mubyarto juga menaruh perhatian terhadap program pembaharuan desa di era reformasi dan khususnya otonomi desa. Sayangnya ia belum memberikan sebuah rumusan tentang arah dari otonomi desa dalam kerangka penguatan ekonomi kerakyatan. Dalam benak saya, otonomi desa akan lebih bermakna bila justru mendorong terwujudnya gerakan ekonomi kerakyatan. Tanpa mengambil pilihan ini maka pembaharuan desa yang salah satu agendanya mempromosikan otonomi desa (OTDES) akan kehilangan maknanya. Ada beberapa alasan yang susah diabaikan. Pertama: Pemerintahan desa merupakan lembaga paling dekat dengan kehidupan sehari-hari orang desa yang kebanyakan menghadapi masalah keterpurukan ekonominya, sehingga seharusnya lebih sensitif terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi warganya. Kedua: pemerintahan desa pada masa lalu justeru menjadi institusi lokal yang bekerja untuk mengelola ekonomi dalam kerangka terjuwudnya masyarakat sejahtera (welfare society). Tanah kas desa dan kekayaan lainnya, misalnya bukan hanya untuk mendanai anggaran Desa, tetapi juga menjadi sumber penghasilan warganya. Ketiga: Desa dapat menjadi filter masuknya eksploitasi kapitalis yang dapat berdampak bagi merosotnya ketahanan ekonomi desa. Keempat: desentralisasi di tingkat Desa tidak akan menjawab kemiskinan dan kerapuhan ekonomi desa bila tidak dialokasikan sebesar-besarnya untuk program ekonomi.
Meletakan ekonomi kerakyatan sebagai pekerjaan Desa berarti berbagi peran dengan pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan pengembangan ekonomi. Desa mempunyai peran menggerakkan ekonomi kerakyatan di level lokal seperti mendorong penguatan modal social, jaminan sosial, arisan, kredit mikro, peralatan produksi pertanian, koperasi, pasar desa, dan berbagai inisiatif yang membuat masyarakat mempunyai akses berusaha dan bekerja.
Masalahnya muncul lagi yaitu desa tidak memiliki keberanian untuk melakukan rasionalisasi atas visi, misi, kebijakan dan program ekonomi kerakyatan. Desa selalu bralasan kekurangan dana. Pengamatan sementara mencatat bahwa dengan APBDes yang amat kecil sekitar Rp. 25 - 100 juta, tetapi dengan penduduk sekitar 5.000 jiwa saja terbagi ke dalam lima dusun atau kampung, maka jika programnya banyak, pos untuk pemberdayaan ekonomi kalau diadakan jumlahnya pasti kecil. Anggaran akan banyak dihabiskan untuk gaji dan kegiatan rutin baru kemudian untuk pembangunan fisik.
Kecilnya dana desa seharunya tidak menjadi penghalang untuk menggerakan ekonomi kerakyatan. Desa tidak perlu menghabiskan anggaran untuk pembangian fisik, tetapi harus berani mengalokasikan untuk mendukung kekuatan ekonomi warganya. Oleh karena itu desa harus melakukan rasionalisasi program dan anggaran. Barangkali rasionalisasi yang dilakukan adalah mengurangi peran mengelola pelayanan sosial yang tidak perlu. Desa juga tidak perlu banyak mengurusi masalah kemasyarakatan, tradisi dan kegiatan keagamaan karena masalah ini dapat diserahkan kepada masyarakat sendiri. Desa berkonsentrasi pada pengembangan sumber nafkah hidup warganya. Ia berperan sebagai agen informasi pekerjaan, dan menyediakan budget tahunan untuk mendorong penguatan modal sosial, ketrampilan, managemen dan kegiatan ekonomi masyarakatnya. Lewat peran itulah desa dapat menarik dana dari masyarakat dan menjalankan peran sebagai redistributor atas kekayaan desa untuk memajukan kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Dengan peran seperti itu, prestasi desa terletak pada kemampuan mengelola anggaran dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan prakrasa lokal dalam mengembangkan kemandirian ekonomi. Apaila gagasan itu terwujud maka konsep ekonomi kerakyatan pun membumi, masyarakat dengan pemerintahannya bergayung membangun kemandirian ekonomi.
Bila pembaharuan desa mengambil pilihan utama pada pemberdayaan ekonomi kerakyatan itu , maka konsekuensi pemerintahan desa pun harus dirombak. Ia bukan lagi tampil sebagai regulator tetapi menjadi lebih banyak berperan sebagi fasilitator masyarakatnya. Pemerintahan desa bukan lagi penjadi kepanjangan tangan negara dan para penguasa di aras lokal, tetapi insititusi ekonomi masyarakatnya. Revisi atas tulisan pada BULETIN MUDIK, 20005